Rabu, 23 Maret 2011

Solusi Korupsi Korporasi

Oleh: Yoga Pratama Samsugiharja
(Mhs. Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM)


Entah mengapa, penggiat gerakan anti korupsi di Indonesia lebih berfokus pada korupsi sektor publik (pemerintahan). Padahal, kasus korupsi yang terjadi diranah pemerintahan bukanlah sebuah sistem korupsi otonomi yang berdiri sendiri, dan pasti melibatkan korupsi sektor privat (swasta). Ini dikarenakan adanya hubungan “teman tapi mesra” antara koruptor ditubuh birokrasi dengan koruptor diranah korporasi.

Tulisan ini mencoba membedah bentuk-bentuk korupsi korporasi yang jamak terjadi, motif-motif korupsi korporasi, serta solusi yang bisa diambil untuk menciptakan korporasi yang bebas dari korupsi.

Teman Tapi Mesra
It takes two to tango. Mungkin istilah ini cocok diterapkan bagi praktik korupsi yang terjadi di Indonesia. Mengapa? Karena salah satu ladang subur korupsi adalah lewat modus pengadaan barang dan jasa serta markup proyek pembangunan. Korupsi jenis ini wajib dilakukan secara “berjamaah” dan tidak bisa dilakukan sendiri. Melibatkan oknum birokrasi serta oknum korporasi.

Biasanya bentuk-bentuk aksi konkret korupsi yang dihasilkan adalah suap, gratifikasi, mark up nilai barang/jasa, serta konflik kepentingan yang saling menguntungkan. Korporasi untung karena memenangkan tender proyek, sedangkan oknum pemerintahan diuntungkan karena mendapat insentif bonus dari korporasi.

Hasil dari korupsi model “duet maut” ini tentu saja menurunnya kualitas pengerjaan proyek serta inefisiensi perekonomian yang berujung pada besarnya kerugian biaya sosial yang ditanggung masyarakat. Jalanan lebih cepat rusak, gedung cepat ambruk, dan infrastruktur amburadul.

Dampak multiplier jangka panjang dari model ini adalah kerentanan korporasi itu sendiri terhadap intervensi politik. Korporasi menjadi manja, terkadang menjadi sapi perah politikus, tidak peka terhadap persaingan, dan membunuh kesempatan korporasi lain yang bisa saja lebih efisien tapi tidak memiliki akses politis kepada penguasa.
Beberapa contoh korupsi “teman tapi mesra” korporasi-birokrasi yang tercatat adalah kasus Katy Industries. Perusahaan ini terjerat Foreign Corruption Act (FCPA), UU anti korupsi di Amerika Serikat (AS), pada 1978. Katy Industries terbukti memberikan suap kepada pejabat Indonesia melalui perusahaan fiktif yang bermarkas di Caymand Island. Atas suap itu, Katy Industries memperoleh hak eksklusif mengelola minyak bumi dan gas selama 30 tahun.

Selain itu masih ada kasus Triton energy pada 1997 dan Monsanto pada 2001. Badan Pengawas Pasar Modal AS (SEC) meneliti laporan keuangan PT Monagro Kimia (anak perusahaan Monsanto di Indonesia) periode 1997-2002 dan ditemukan adanya 140 aliran uang senilai USD700.000 kepada berbagai pejabat, termasuk petinggi Kantor Kementerian Lingkungan Indonesia.[1]

Bentuk-bentuk Korupsi Korporasi
Secara garis besar, korupsi hanyalah salah satu bentuk penyelewengan kekuasaan (fraud) korporasi yang jamak terjadi.[2] Ada tiga jenis fraud yang umum: pertama adalah penyalahgunaan asset korporasi untuk kepentingan pribadi, kedua adalah manipulasi laporan keuangan perusahaan, dan terakhir adalah korupsi.

Bentuk-bentuk korupsi yang dilakukan antara lain penyuapan, penggunaan pengaruh (konflik kepentingan), pemberian gratifikasi, dan ancaman ekonomi (economic extortion). Suap berarti memberikan “insentif” kepada pengambil kebijakan untuk membantu kepentingan pemberi suap. Sementara gratifikasi dapat berarti “uang terima kasih” karena kepentingannya terpenuhi.

Penggunaan pengaruh berarti menciptakan konflik kepentingan terhadap keputusan tertentu. Contohnya seorang supplier yang memiliki hubungan personal dengan pimpinan proyek akan menggunakan kedekatannya agar pimpinan proyek tersebut lebih memilih dia daripada supplier lainnya.

Ancaman ekonomis adalah sebuah usaha intimidatif yang dilakukan untuk mempengaruhi pihak lain agar bersedia membantu melakukan korupsi. Contohnya pimpinan proyek yang meminta kickback (gratifikasi) kepada pengusaha dan mengancam tidak akan menggunakan jasa pengusaha itu lagi di masa depan.

Mengapa Terjadi Korupsi Korporasi?
Menurut teori tradisional, setidaknya ada tiga alasan penyebab korupsi korporasi: kesempatan, tekanan/insentif, dan rasionalisasi.[3] Kesempatan hadir jika mekanisme control internal perusahaan kurang kuat (masalah struktural). Tekanan/insentif hadir jika seorang pelaku korupsi terdesak kebutuhan pribadi dan tergiur insentif yang ada. Misalnya: menghadapi anak yang sakit dan butuh biaya tinggi sementara gajinya sendiri pas-pasan (masalah eksternal). Sementara rasionalisasi adalah alasan “pembenaran” tindakan korupsi yang dilakukan. Biasanya koruptor akan menyalahkan sistem penggajian, tingginya biaya hidup, atau kecilnya dampak korupsi yang ia lakukan (moral personal).

Alasan tersebut tergambar dalam “segitiga setan” dibawah ini:

Bagaimana Solusinya?
Tidak ada sebuah pendekatan yang bisa menjadi panacea (satu obat penawar untuk segala macam penyakit). Diperlukan langkah-langkah yang holistis, pro-aktif sekaligus preventif. Untuk itu penulis mencoba menawarkan solusi berdasarkan “segitiga setan” motif korupsi korporasi diatas. Ini penting, karena kita harus jeli melihat motif yang ada sebagai sumber inspirasi solusi permasalahan pemberantasan korupsi.

Karena ada tiga ranah wilayah motif korupsi, maka diperlukan juga tiga ranah wilayah solusi untuk memperbaiki “segitiga setan” yang ada. Menurut penulis, langkah-langkah yang bisa diambil adalah:
  • Permasalahan struktural korporasi diselesaikan dengan penerapan Good Corporate Governance.
  • Permasalahan eksternal diselesaikan dengan sistem kompensasi berdasarkan meritokrasi yang mencukupi dan penuh insentif untuk tidak melakukan korupsi.
  • Permasalahan moral personal diselesaikan dengan memberlakukan pakta integritas.
Seperti tergambar dalam model dibawah ini:

Penerapan Good Corporate Governance (Pendekatan Struktural)
Kasus-kasus skandal kejahatan besar semacam Enron dan Worldcom telah membuka mata dunia bisnis tentang perlunya penegakan etika dan transparansi dalam perusahaan. Bahkan pemerintah George Bush mendorong lahirnya Sarbane-Oaxley Act yang mengubah peraturan dibidang audit dan pasar modal. Krisis ekonomi yang terjadi pada 2007 juga diyakini karena banyak perusahaan yang tidak menerapkan Good Corporate Governance (GCG) dalam pengelolaannya.

Pada intinyanya, GCG adalah konsep yang mendorong terjadi tata kelola organisasi yang lebih bersih dan transparan. Pemerintah Indonesia sendiri mendorong penerapan GCG lewat keputusan Menko Ekuin nomor KEP/49/M.EKON/11/2004 yang menyetujui berdirinya Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).[4]

GCG diperlukan dalam rangka mendorong pengelolaan perusahaan yang berdasarkan transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kesetaraan dan kewajaran. GCG juga mendorong pemberdayaan fungsi serta kemandirian masing-masing organ perusahaan (direksi, komisaris, pengawas). Diharapkan dengan GCG, seluruh jajaran perusahaan dapat menciptakan keputusan bisnis yang dilandasi etika, moral dan kepatuhan pada peraturan yang berlaku. Pada akhirnya GCG bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan nilai perusahaan itu sendiri.[5]

Prinsip-prinsip yang mendasari GCG antara lain:[6]
Perusahaan yang menerapkan GCG tidak akan melakukan penyuapan untuk mensukseskan proyeknya. Selain melanggar etika, adanya mekanisme control yang kuat didalam perusahaan dapat membuat calon penyuap berpikir dua kali. Mekanisme kontrol ini adalah adanya seperangkat regulasi (disertai sanksi tegas dan jelas) guna mengatur tindakan etika yang tidak boleh dilakukan. Contohnya: perusahaan dengan tegas melarang segala bentuk “lobi tingkat tinggi” dan “upeti” yang diberikan kepada pejabat pemerintahan saat tender proyek.

Perbaikan Kompensasi (Pendekatan Eksternal)
Salah satu penyebab terjadi korupsi baik korporasi maupun sektor publik adalah rendahnya kesejahteraan yang diberikan. Untuk itu, penerapan remunerasi berdasarkan kinerja wajib dilakukan. Baik oleh korporasi, maupun birokrasi pemerintahan. Perbaikan kesejahteraan dalam bentuk remunerasi birokrasi sendiri baru dimulai sekitar tahun 2007 di Departemen Keuangan. Diharapkan semua departemen pemerintahan pada akhirnya mendapatkan remunerasi. Sedangkan disektor korporasi, metode kompensasi gaji yang diberikan dapat disesuaikan dengan kemampuan internal perusahaan. Sejak mencuatnya kasus Gayus Tambunan, terjadi perdebatan apakah perbaikan kesejahteraan pasti menghasilkan peningkatan kinerja dan hilangnya praktik korupsi. Meski demikian, langkah ini wajib dilakukan guna mencegah corruption by needs.[7]

Pakta Integritas (Moral)
Penandatanganan pakta integritas adalah salah satu cara untuk menggugah hati nurani seseorang. Dengan berjanji kepada dirinya sendiri, setidaknya akan terjadi konflik batin jika ia akan melakukan korupsi. Sebenarnya pakta integritas hanya mengingatkan agar seseorang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai etika yang ada. Saat ini pakta integritas sudah mulai diterapkan kepada pejabat publik. Padahal pelaku korporasi dan dunia usaha juga memerlukannya sebagai panduan etika bisnis dan mencegah terjadinya tindakan koruptif manipulatif.[8]

Penutup
Pada akhirnya, korupsi korporasi adalah white collar crime yang berdampak pada masyarakat atau sektor publik itu sendiri. Berusaha melakukan dikotomi, fragmentasi, dan hanya berfokus pada korupsi ditubuh pemerintahan tanpa memikirkan korupsi korporasi sama saja dengan memakai separuh kaca mata kuda.

Dengan penerapan GCG, pemberian kompensasi memadai, dan pemberlakuan pakta integritas, minimal dunia korporasi dapat meredam wabah korupsi yang ada. Sehingga dimasa depan tidak ada lagi pelaku dunia korporasi yang menawarkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme guna memenangkan persaingan dunia bisnis.

[1] Erry Riyana H dan Aan Rukmana. "Korupsi Perusahaan dan Upaya Mengontrolnya". Dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (editor). 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta: Gramedia
[2] Hall, James dan Tommie Singleton. 2005. Information Technology Auditing and Assurance. Thompson South Western
[3] Hunton et al. 2005. Core Concept of Information Technology Auditing. Willey College
[4] Erry Riyana dan Aan Rukmana. Op cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Berdasarkan kebutuhan, korupsi dapat dibagi menjadi by needs (kebutuhan hidup) atau by greeds (keserakahan)
[8] Profesi seperti akuntan publik memiliki pakta integritas lewat proses pengambilan sumpah profesi. Seharusnya, metode ini dapat dipakai untuk seluruh jajaran perusahaan dan terutama direksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar