Rabu, 23 Maret 2011

Pendidikan Karakter Sedini Mungkin: Terowongan Menuju Masyarakat Madani Anti Korupsi

Oleh: Ricky Septian Wijaya
(Mhs. S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM)


Pendahuluan
“Indonesia adalah negara terkorup di Asia”. Itulah bunyi berita yang sering dipublikasikan dan terdengar hingga ke mancanegara. Korupsi seakan-akan menjadi suatu “tanda pengenal” bagi Indonesia dalam masyarakat dunia, utamanya sejak rezim Orde Baru. Masyarakat kita memiliki berbagai macam reaksi terhadap kenyataan pahit ini. Tidak sedikit yang cuek, tetapi ada juga kelompok-kelompok yang mulai memunculkan pertanyaan: “Apa itu korupsi? Mengapa bisa terjadi korupsi?” Para pengaju pertanyaan-pertanyaan tersebut prihatin dan berusaha menunjukkan kepeduliannya terhadap masalah ini, walau mereka sendiri mengetahui bahwa apa daya mereka untuk memerangi penyakit kronis yang mengancam sendi-sendi kehidupan bernegara ini.

Korupsi merupakan bagian dari negeri ini. Bahkan korupsi telah ada lama sebelum negeri ini disebut Indonesia. Tidaklah salah membenarkan pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa “Korupsi merupakan kultur bangsa Indonesia”. Bahwasanya korupsi telah ada sebelum Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua menyatakan diri sebagai satu Indonesia. Jauh sebelum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dikumandangkan, kerajaan-kerajaan yang tersebar di belantara Indonesia kuno telah mengenal korupsi dalam tindakan para kaisar, aristokrat, dan kaum bangsawan.  Sejarah mencatat betapa tradisi korupsi telah merusak kerajaan-kerajaan termahsyur di Indonesia kuno. Pemerintahan yang korup menyebabkan pemberontakan terjadi dalam kerajaan Majapahit. Kehancuran kerajaan-kerajaan besar Indonesia tempo dulu tidak lepas dari perilaku korup sebagian besar kaum bangsawannya.

Dewasa ini, media cetak maupun elektronik di negeri ini hampir tiap hari menampilkan berita tentang korupsi para pejabat negara. Wabah korupsi di Indonesia kini telah menjadi gurita yang cengkramannya menyeret sebagian besar aparatur negara yang notabene menjadi penjaga stabilitas negara. Lingkaran setan persoalan korupsi terus  menggempur bangsa Indonesia di tengah usahanya untuk merangkak maju. Kasus Bank Century, skandal mafia pajak yang melibatkan banyak pejabat  negara (Tempo 19-25/4/2010) adalah sedikit dari banyak tindakan koruptif di negeri ini. Kongkalikong antara pejabat negara dan para pengusaha bukan lagi sebuah berita baru, malah menjadi sesuatu yang wajar dan dimaklumi. Namun  korupsi kini bukan hanya milik mereka yang berpangkat. Dari kepala desa hingga pejabat negara kini tak luput dari korupsi. Agenda reformasi untuk memberantas korupsi yang telah dimulai beberapa tahun silam seakan berjalan di tempat. Reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme belum mencapai tujuan yang dicita-citakan. Nampaknya korupsi telah menjadi suatu penyakit kronis, menahun dan struktural sifatnya serta menggerogoti bangsa Indonesia dalam seluruh dimensi kehidupannya. Seberapa parahkah moralitas anak bangsa sehingga mereka mudah dijangkiti korupsi dan tak lagi mengindahkan  tata hidup bersama?

Korupsi Sebagai Dilema Moral-Etis
Korupsi ialah tindakan mengambil atau menggelapkan apa yang bukan miliknya untuk kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi dipandang sebagai sebuah patologi sosial  sebab korupsi pada saat yang sama merampas hak hidup orang lain. Para koruptor adalah mereka yang mencederai kesejahteraan warga negara lainnya sebab mereka bertindak berdasarkan dorongan untuk menumpuk kekayaan pribadi dan mengabaikan kesejahteraan bersama. Inilah bahaya laten yang bisa mengancam societas bangsa Indonesia. Robert Klitgaard berujar bahwa korupsi terjadi jika ada monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang yang memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.

Para founding father bangsa Indonesia telah lama menyadari bahaya laten korupsi ini. Melalui pasal 33 UUD 1945 mereka dengan tegas menempatkan kesejahteraan seluruh bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan. Karena itu monopoli dan aneka praktik lainnya yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi dilarang, sebab mengabaikan kesejahteraan semua warga negara. Korupsi yang menggurita dan merajalela saat ini lebih karena kurangnya budaya malu dari setiap orang untuk melakukan praktik korupsi. Budaya malu untuk korupsi menjadi penting sebab budaya malu hendak menjelaskan sebuah persoalan penting yang  menyentuh ranah etis.

Malu untuk korupsi mencerminkan kedalaman moralitas seseorang. Memasyarakatkan budaya malu untuk korupsi boleh dikatakan sebagai sebuah langkah  awal yang mesti dimiliki oleh setiap pribadi agar gurita korupsi tidak menjalar semakin luas serta cengkramannya tidak semakin dalam. Korupsi yang mencederai kehidupan bersama sungguh sangat mengancam persatuan bangsa yang semestinya dijaga.

Korupsi mudah memecah belah kesatuan bangsa sebab korupsi bisa membuat kesejahteraan bersama suatu bangsa tergadaikan. Penempatan semangat komunitarian ini mengandung makna yang mendalam bagi setiap orang khususnya bagi para aparatur negara yang  rentan dengan penyalahgunaan jabatannya. Di sana terbersit sebuah panggilan untuk bertindak dan bertanggung jawab terhadap keutuhan bangsa. Maka setiap tindakan korupsi (yang selalu bertendensi egosentris) merupakan tindakan yang melukai prinsip kemanusiaan dan mengancam kesatuan bangsa. Dengan kata lain korupsi merampas kehidupan karena gagal melihat orang lain sebagai sesama. Prinsip altrusitis ini membawa kita pada realitas bangsa Indonesia yang sebagian besar warga negaranya berada di bawah garis kemiskinan. Wajah-wajah lusuh anak jalanan sejatinya mengugah setiap pribadi untuk bertindak secara manusiawi. Inilah panggilan paling luhur yang dimiliki oleh manusia. Penampakan wajah sesama yang menampilkan penderitaan mengajak  kita untuk bertindak dan berbagi. Melalui Emanuel Levinas (Bertens, 2006: 318-328) kita diajak untuk menyelami dan menceburkan diri dalam keluhuran manusia yang direpresentasikan dengan penampakan wajahnya. Dengan demikian membiarkan sesama menderita merupakan hal yang berseberangan dengan gagasan Levinas. Gagasan Levinasian ini mestinya menjadi sebuah bahan pertimbangan bagi para aparatur negara untuk tidak melakukan korupsi. Bahwa dengan korupsi mereka justru menjadi musuh bersama bagi  panggilan luhur ini.

Persoalannya ialah para koruptor tak memiliki nurani untuk melihat realitas. Kepekaan mereka tak terusik melihat fakta kemiskinan bangsa ini sebab mereka hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Bahkan tragisnya mereka mengumbar janji tanpa realisasi. Kesadaran akan realitas tersebut semestinya menjadi pelecut yang menggugah mereka untuk lebih berorientasi pada kesejahteraan semua orang.

Carut Marut Penegakan Hukum
Menurut penelitian, 85% tindakan korupsi disebabkan oleh kebutuhan dan 15%-nya karena keserakahan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa korupsi terjadi sebagai pertemuan antara niat dan kesempatan. Niat terkait dengan perilaku, dan perilaku tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai (values). Kesempatan terbuka karena kelemahan sistem. Jika melihat kondisi terkini, pemerintah yang berkuasa saat ini dengan gencar menyerukan perang terhadap korupsi. Banyak lembaga yang dibentuk untuk memerangi korupsi. Namun sungguh ironis bahwa pada saat yang sama lembaga peradilan yang diharapkan mampu menegakan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia digerogoti dari segala arah oleh wabah korupsi. Para hakim menjadi makelar kasus sehingga membuat penegakan supremasi hukum di Indonesia semakin lemah. Hukum menjadi pasif dan memberi ruang kepada setiap orang untuk berkelit dari tindakan korupsinya.

Ditinjau dari reformasi hukum, usaha untuk memberantas korupsi di Indonesia sangatlah kompleks dan ketat. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi telah diubah dan lebih diberdayakan dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, pengesahan UU Nomor 13 tahun 2006  yang secara khusus melindungi para pelapor kasus korupsi (whistle blowers), serta sederetan undang-undang lainnya merupakan sebuah gebrakan yang tidak memberikan ruang bagi terjadinya korupsi (Kompas 27/4/ 2010). Meski demikian  korupsi masih tetap terjadi bahkan meluas di Indonesia. Korupsi nampaknya telah membudaya di Indonesia. Persoalan utamanya terletak pada perkara buruknya implementasi hukum-hukum yang telah dibuat. Dengan kata lain hukum tidak diindahkan dengan baik.

Fenomena lemahnya penegakan hukum ini telah lama dilihat oleh salah seorang tokoh reformis China, Wang An Shih (1021-1086). Ia mengatakan bahwa pasifitas hukum berjalan seirama dengan buruknya kemanusiaan seseorang (Alatas, 1983: 6-9), sebab hukum yang pasif dan lemah melanggengkan seseorang untuk melakukan korupsi. Analisis Wang terasa sangat relevan untuk situasi bangsa Indonesia dimana korupsi menunjukkan sistem hukum Indonesia lemah. Maka diperlukan hukum yang tegas dan penegak hukum yang berkomitmen terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika pada sisi tertentu lembaga penegak hukum juga digerogoti oleh penyakit kronis korupsi yang membuat mereka tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka pada titik ini warga negara diundang untuk memberikan suara kepada pemerintah. Banyak ruang publik yang bisa digunakan untuk memberikan tekanan kepada pemerintah agar mengusut tuntas kasus korupsi dan memberi hukuman setimpal bagi pelakunya. Dalam bahasa Jürgen Habermas, ruang publik adalah medan dimana gagasan, pikiran dan percakapan masyarakat bertemu. Ruang publik menjadi medan bagi masyarakat untuk bersuara. Karenanya, dapat dikatakan bahwa tugas memberantas korupsi bukan hanya menjadi kewajiban para penegak hukum atau lembaga-lembaga tertentu semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Warga negara mesti turut memberi sugesti kepada pemerintah untuk melawan korupsi.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita alami sekarang ini memungkinkan setiap warga negara untuk bersuara di ruang publik. Inilah wujud demokrasi yang sejati. Jejaring sosial dalam dunia virtual kini menjadi ruang publik baru bagi warga negara untuk bersuara menentang korupsi. Meski demikian masih banyak ruang publik lain untuk mengeskpresikan pendapatnya dalam memerangi korupsi.

Pendidikan Karakter: Menuju Indonesia Bebas Korupsi
Menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, peran serta masyarakat amatlah penting, karena pencegahan dan penindakan korupsi dilakukan dalam perspektif pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Namun realitanya, pemberantasan korupsi tidak mengikutsertakan partisipasi masyarakat; tidak memadai pada komponen pencegahan; bagus hanya pada beberapa tahun pertama; diarahkan pada penghukuman, tidak cukup perhatian pada pelacakan aset hasil korupsinya. Kesemuanya itu membuktikan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia belum berjalan efektif. Melihat realitas korupsi yang terjadi di Indonesia banyak para pakar yang mengatakan bahwa Indonesia bebas korupsi hanya mungkin akan terealisasi dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan.

Untuk memberantas korupsi dari bumi Indonesia ini, mutlak diperlukan sebuah restrukturisasi hukum. Sistem hukum mesti dirombak secara total. Sistem hukum yang memberikan ruang kepada para calon koruptor untuk beraksi mesti diubah. Namun yang lebih penting dari itu perlu adanya kesadaran bersama dari seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk melihat korupsi sebagai sebuah penyakit moral yang mesti diperangi. Sebuah gerakan penyadaran masyarakat yang berskala nasional mesti digalang. Gerakan penyadaran ini bisa dimulai dari hal-hal kecil. Karena itu sektor pendidikan memegang peranan yang penting.

Penanaman kesadaran sejak dini dalam diri setiap pribadi paling efektif jika dilakukan melalui jalur pendidikan. Korupsi yang dilakukan secara besar-besaran oleh seorang pribadi bukanlah tanpa awal. Mentalitas korupsi terbentuk oleh karena kebiasaan-kebiasaan buruk yang tak pernah disadari hingga akhirnya menyebabkan rasa malu dalam diri seseorang kian menebal. Karena itu pendidikan budi pekerti kian urgen. George Santayana pernah menelurkan gagasan: “Kebiasaan lebih kuat dari nalar”. Menyitir Santayana, kebiasaan untuk memberikan input yang baik kepada setiap pribadi mempunyai daya persuasif yang lebih kuat dari pada nalar. Kebiasaan pada level tertentu bisa mengalahkan nalar. Poin ini mau menjelaskan sebuah perkara: bahwa kebiasaan membentuk kepribadian seseorang. Hanya dengan membiasakan anak didik diajari  pendidikan moral yang memadai maka budaya korupsi dapat dikurangi sebab kesadarannya selalu diarahkan pada hal-hal positif.

Tekad dan karakter kuat untuk memerangi korupsi dapat dibina melalui pendidikan karakter. Mengapa pendidikan karakter penting? Karena sebagai bangsa yang ingin merdeka dari korupsi, kita menegakkan kehidupan nasional berdasarkan ideologi negara sesuai dengan amanat UUD 1945, terutama  “....... memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.....” dapat bermakna sebagai visi-misi: ”...... nation and character building......” dengan prasyarat : sosial ekonomi rakyat sejahtera. Artinya, manusia yang berbudaya dan beradab, serta berkarakter luhur, dan bermartabat yang memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pengabdiannya. Karakter adalah modal terbesar kemajuan bangsa yang tidak terlihat.

Pendidikan karakter antikorupsi diharapkan dapat memotivasi mahasiswa (yang selanjutnya dapat mensosialisasikannya di tingkat masyarakat), untuk mengenali dahulu segala hal tentang korupsi, sebagai pedoman untuk menjadi agen perubahan melawan korupsi. Tak kenal maka tak mampu melawan. Korupsi telah membuat penegakan hukum dan layanan masyarakat menjadi amburadul, pembangunan fisik terbengkelai, hilangnya kesempatan orang-orang berprestasi untuk menduduki posisi penting karena tidak punya uang atau kekuasaan, demokrasi tidak berjalan baik, perekonomian menjadi tidak efisien karena siapapun yang ingin membuka usaha dengan modal kecil akan kalah dengan perusahaan besar yang dekat dengan pemegang kekuasaan. Buntutnya, orang asing malas berinvestasi di Indonesia, sehingga rakyat kecil menjadi korban karena untuk mencari kerja demi bertahan hidup menjadi sulit.

Akhirnya, korupsi memang  telah menjadi sebuah wabah  kronis yang tersistematisasi di negara ini. Ia merasuk di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bertanah air. Setiap pribadi mempunyai panggilan yang luhur untuk kembali membawa bangsa Indonesia ini pada jalurnya yang benar. Iklim demokrasi yang mendukung di Indonesia memberi kesempatan yang luas kepada para warga negara untuk menyuarakan pekik anti korupsi. Karena korupsi bukan hanya merugikan kita yang hidup di zaman ini tetapi lebih dari itu mengancam kelangsungan hidup generasi-generasi mendatang. Jika kita yang hidup kini mempunyai moralitas yang baik, yang terbina melalui pendidikan karakter anti korupsi, maka sudah tentu  mata rantai korupsi bisa terputuskan, sebab generasi mendatang tidak kita warisi dengan mentalitas yang melihat korupsi sebagai kelaziman. Indonesia bebas korupsi? Mengapa tidak. Melalui pendidikan karakter sedini mungkin, mari wujudkan dan tunjukkan pada dunia bahwa Indonesia bisa berubah.

Kepustakaan
http://www.stialan.ac.id/artikel%20yogi.pdf
Alatas, S.H. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1983.
Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer, Prancis. Jakarta:Gramedia, 2006.
-----------------. Perspektif Etika,. Esai-Esai tentang Masalah Aktual. Kanisius: Yogyakarta. 2001
Alatas, S.H. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1983.
Hardiman, F. Budi. Demokrasi Deliberatif. Kanisius: Yogyakarta. 2009.
Kompas, 27April 2010
Suara Pembaruan, 20 Agustus 2010
Tempo, 19-25 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar