Rabu, 19 Januari 2011

Tim Recovery HMP UGM in Action

Meskipun masa tanggap darurat bencana Merapi sudah terlampaui, namun antusiasme publik untuk membantu korban Merapi masih tetap tinggi. Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) UGM, yang sejak masa tanggap darurat Merapi aktif mendistribusikan bantuan untuk korban Merapi, hingga saat ini masih tetap dipercaya untuk menjembatani bantuan oleh berbagai pihak. Termasuk bantuan dari Asrama Mahasiswa Penerima Bea-study Etos Bogor.

Bantuan yang disampaikan pada 9 Januari 2011  ini berupa 270 potong pakaian layak pakai, bubur bayi, makanan instan, dan biskuit. Bantuan tersebut telah didistribusikan langsung kepada warga Dukuh Boyong, melalui Kepala Dukuh Boyong, Bapak Sogimun. Ketua Tim Recovery HMP, Jefri Pranata, berharap agar bantuan didistribusikan kepada warga yang paling membutuhkan, mengingat jumlah bantuan terbatas. Selain dalam bentuk barang, Tim Recovery HMP juga memberikan bantuan berupa uang sebagai upah warga untuk pemasangan papan penunjuk arah. Hal tersebut merupakan salah satu upaya pemberdayaan masyarakat lokal dalam penanganan bencana, dengan menjadikan mereka sebagai subjek sekaligus objek di setiap program, baik pada saat bencana maupun pasca bencana.

Perkembangan terkini Dukuh Boyong, berdasarkan penuturan Kepala Dukuh, diketahui pembuatan dua sumur bor tengah diupayakan di Dukuh Boyong oleh Rumah Zakat, dengan estimasi dana untuk setiap sumur sekitar Rp. 17 juta. Biaya pengeboran relatif tinggi, mengingat lokasi dukuh boyong berada di lereng kaki Gunung Merapi, sehingga muka air tanah relatif dalam, yakni > 25 meter. Keberhasilan pembuatan sumur bor pun, belum bisa dipastikan, dan baru pertama kali dilakukan di lokasi tersebut. Penyediaan kebutuhan air sehari-hari warga, masih disuplay oleh Palang Merah Indonesia (PMI).

Kondisi sapi perah warga, sebagian sudah mulai pulih dengan hasil perahan susu meningkat. Namun sebagian lagi, masih mengalami gangguan kesehatan dengan berat badan terus merosot, karena kurang asupan tambahan. Untuk meningkatkan produksi susu, biasanya warga menggunakan konsentrat sebagai asupan tambahan. Namun, pasca bencana erupsi Merapi kondisi ekonomi warga masih belum pulih, sehingga tidak mampu membeli konsentrat untuk ternak mereka. Sebelumnya, pernah ada bantuan berupa “ampas bir” sebanyak 8 ton, dari Perusahaan Bir di Bogor. Namun sifat bantuan tidak kontinyu, dan pendistribusiannya belum merata ke seluruh warga.

Terkait keinginan Tim Recovery HMP untuk ikut berkontribusi dalam program pencegahan dan penanggulangan dampak penambangan pasir di pekarangan warga Boyong, tim sempat diajak berkeliling oleh Kepala Dukuh untuk menyaksikan langsung lahan-lahan bekas penambangan pasir. Tim menyaksikan lubang-lubang galian memanjang dengan kedalaman 15-20 meter, dengan panjang dan lebar bervariasi, antara 10-20 meter. Menurut keterangan Kepala Dukuh, lokasi yang disaksikan tim telah ditambang selama 2 tahun, dan baru berhenti akibat erupsi Merapi. “Kalau tidak ada erupsi Merapi, mungkin mereka akan terus menggali lebih dalam. Karena semakin dalam di gali, kualitas pasir semakin bagus”, tutur Kepala Dukuh.

Tambang pasir sangat menjanjikan bagi warga setempat. Sebelum erupsi Merapi, setiap harinya ada 100 truk pengangkut pasir yang membeli pasir dari pekarangan warga Boyong. Dari pasir tersebut, pemilik pekarangan memperoleh pemasukan sekitar 100-200 ribu per hari. Keuntungan penjualan pasir dipergunakan warga untuk membeli pakan ternak. Kepala Dukuh mengaku kesulitan menghentikan aktifitas warganya untuk menambang pasir di lahan warga. Beliau telah berusaha membentuk kelompok ternak untuk mengalihkan aktifitas warga dari penambangan pasir ke peternakan, namun upaya itu tidak efektif, karena warga menganggap aktifitas penambangan pasir dapat mendukung usaha peternakan mereka. Kepala Dukuh juga pernah mengundang LSM Lingkungan, seperti WALHI, untuk memberikan penyuluhan kepada warga. Namun upaya itupun belum berhasil.

Penggalian pasir sering tidak mempedulikan kepentingan warga lain yang memiliki kapling lahan bersebelahan, sehingga sering terjadi konflik antar warga. Penggalian mengikis habis tanah (top soil) yang ada di pekarangan warga, dan menyisakan lahan-lahan kritis yang berupa cekungan panjang, lebar dan dalam. Lahan-lahan tersebut rawan longsor, dan untuk pemulihannya juga tidak mudah. Lahan yang belum ditambang harus tetap dikonserve dan lahan kritis bekas penambangan harus dipulihkan, misalnya dengan penanaman vegetasi. Pemilihan vegetasi harus disesuaikan dengan kondisi lahan (ekologis), dan harus mempertimbangkan jenis yang memberikan keuntungan ekonomi kepada warga. Dan di sinilah KEILMUAN kita ditantang (Laily *KASTRAT HMP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar