(Mhs. S2 Manajemen dan Kebijakan Publik FISIP UGM)
Pendahuluan
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh kasus mafia pajak yang dilakukan oleh pegawai Departemen Keuangan Gayus Tambunan. Kasus ini langsung menjadi sorotan publik karena menyeret beberapa pejabat negara, pengusaha, petinggi partai politik bersama oknum pegawai Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Jauh sebelum itu, sebenarnya banyak kasus serupa yang menjadi headline di beberapa media massa nasional seperti kasus travel check Miranda S. Goeltom kepada beberapa anggota DPR guna memuluskan langkahnya menjadi Deputi Senior Bank Indonesia, skandal suap Artalita Suryani dan tentu saja paling menjadi sensasi yaitu kasus 6,7 trilyun dana bail-out kepada Bank Century, serta jika ingin dirinci satu per satu maka masih banyak lagi yang lainnya.
Fenomena Gayus, Artalita, Skandal Bank Century merupakan potret dari masifnya korupsi di Indonesia. Tidak mengherankan jika ada pameo yang mengatakan bahwa, kalau dulu korupsi itu dilakukan di bawah meja, sekarang korupsi dilakukan secara berjemaah di atas meja. Artinya, korupsi sudah merajalela (rampant) di Indonesia dan berlangsung secara sistematis. Tidak peduli apakah mereka pejabat, militer, penegak hukum, politisi, pengusaha, pegawai negeri semuanya berkolaborasi melakukan korupsi dengan tujuan memperkaya diri sendiri. Akibatnya, setiap kali dilakukan survei, baik oleh lembaga asing maupun survei yang dilakukan oleh lembaga nasional, sudah bisa dipastikan Indonesia selalu berada pada peringkat atas negara paling korup. Salah satunya (sebagaimana yang bisa dilihat pada grafik 1) adalah survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong. Hasil studi PERC menunjukkan bahwa Indonesia masih menduduki peringkat pertama negara terkorup di Asia Pasifik. Survei ini dilakukan dengan mengukur indeks efektivitas investasi di Indonesia. Hasilnya, dari 14 negara yang dipilih sebagai sampel, prosedur dan efektivitas investasi di Indonesia adalah yang paling buruk (80,32), masih jauh dari negara jiran Malaysia (60,7) apalagi Singapura (10,07).
Korupsi sudah menjadi semacam virus yang setiap saat bisa menghancurkan negara ini. Argumen ini bukan tanpa alasan. Coba kita menoleh ke belakang dan belajar dari sejarah. Bagaimana runtuhnya VOC di Indonesia karena perilaku korup dari para pegawainya. Runtuhnya kekuasaan Presiden Soekarno karena korupsi para bawahannya. Jatuhnya rezim Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun karena korupsi yang dilakukan oleh keluarga dan kroni-kroninya.
Korupsi dapat memporak-porandakan peradaban manusia. Jika ini terjadi tentu merupakan persoalan yang serius bagi eksistensi manusia. Kita pasti tidak ingin negara dan bangsa ini terkubur dalam kubangan lumpur korupsi dan bergerak menuju titik nadir. Oleh karena itu, mutlak diperlukan gerakan bersama untuk tidak hanya mengkampanyekan tetapi juga mengokupasi perjuangan (struggle) melawan korupsi. Tulisan ini hadir untuk merealisasikan idealisme tersebut guna memberikan perspektif dan strategi alternatif dalam mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi. Argumen yang ingin disebarkan oleh tulisan ini adalah bahwa korupsi bukan hanya menyangkut persoalan hukum, politik, ekonomi dan sosial, tetapi jauh dari itu korupsi berhubungan dengan nilai-nilai, etika dan moral yang secara perlahan sudah mulai luntur.
Konsepsi Teoritik Korupsi
Banyak pihak yang mencoba mengkonseptualisasikan korupsi. Definisi yang paling umum disampaikan oleh Manion. Menurut Manion (2009: 1) korupsi perbuatan menyalahgunakan (abuse) wewenang yang dilakukan oleh pejabat publik. Korupsi mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka (Pope, 2003: 6-7). Pendapat kedua pakar di atas cenderung mempersempit lokus korupsi pada level publik. Padahal, korupsi bisa terjadi di semua sektor seperti sektor swasta dan organisasi masyarakat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa intensitas korupsi lebih sering terjadi dan melibatkan pejabat di sektor publik karena luasnya kekuasaan pemerintah.
Klitgaard (2005: 31) merumuskan korupsi sebagai tingkah-laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. Korupsi merupakan perbuatan menggunakan properti publik yang dilakukan oleh pejabat pemerintah (Shleifer dan Vishny, 1993: 599). UU No. 31 Tahun 1999 mengatur bahwa korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi dan dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Perbuatan korupsi adalah tindakan menguntungkan diri sendiri dan orang lain karena kekuasaan yang dimilikinya sehingga perlu diberikan sanksi hukum yang tegas bagi pelaku korupsi. Negara perlu memberikan sanksi (punishment) yang tegas bagi aparat negara dan masyarakat yang terbukti melakukan korupsi.
Dalam masyarakat sering terjadi kekeliruan dalam menggunakan istilah korupsi. Korupsi seringkali disamakan dengan kolusi dan nepotisme. Ketiga konsep ini sebenarnya memiliki perbedaan yang signifikan. Dengan demikian, perlu dibedakan antara korupsi dengan kolusi dan nepotisme. Korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Sedangkan kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antarpenyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Nepotisme merupakan setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Korupsi di Indonesia
Fenomena korupsi di Indonesia tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Korupsi adalah refleksi masyarakat Indonesia yang sedang menuju tahap modern. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hampir setiap hari, baik di media massa cetak maupun media massa elektronik kita sering disuguhi informasi mengenai korupsi. Akibatnya, semua orang santer membicarakannya karena korupsi sudah menjadi buah bibir.
Korupsi sudah melintas batas-batas struktural dan regional dalam masyarakat Indonesia. Dari segi aktor, pelaku tindak pidana korupsi bisa saja beragam sesuai dengan struktur sosial mereka di dalam masyarakat. Dari hasil pantauan Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Universitas Gadjah Mada pada triwulan ketiga 2010, dari 113 kasus korupsi yang diamati, melibatkan 236 pelaku. Pelaku korupsi tersebut diklasifikasikan atas; anggota DPR, kepala daerah atau mantan kepala daerah, direktur utama perseroan terbatas, kepala dinas, pejabat departemen, kepala desa, pegawai dinas pemerintah daerah, anggota atau mantan anggota DPRD, kepala sekolah, sekretaris daerah, mantan menteri, perangkat desa, pejabat universitas, pengusaha, pengurus koperasi, anggota organisasi kemasyarakatan, kepala kantor pajak, auditor BPK, pegawai pemerintah kabupaten atau pemerintah provinsi, polisi, anggota atau pegawai Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), kepala kantor pos, direktur umum perusahaan daerah, dokter, camat, kepala kantor pertanahan, pengurus klub, pegawai kantor DPRD, pegawai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), ketua proyek, pegawai bank, pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), makelar kasus, hakim, pegawai pajak, masyarakat biasa dan pemuka agama (Pukat Korupsi, 2010: 3). Dari segi kewilayahan, korupsi sudah hampir merata terjadi di Indonesia. Data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah ini dapat membuktikan asumsi tersebut.
Etika: Membangun Karakter Bangsa
Virus korupsi sudah berada pada step yang membahayakan di Indonesia. Lalu, apa yang telah kita lakukan untuk memberantasnya? Dari perspektif hukum, kita boleh berbangga hati karena kita sudah memiliki banyak aturan hukum yang mengatur masalah tindak pidana korupsi. Ada beberapa aturan yang sudah dibuat sebagai agenda pemberantasn korupsi, diantaranya:
- Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
- UU No. 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN.
- UU No. 31 Tahun 1999 (jo) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
- UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
- Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
- UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
- Keputusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Kemanan No. Kep-54/Menko/Polhukam/12/2004 tentang Tim Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi.
- UU No. 1 Tahun 2006 tentang Batuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
- UU No. 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Antikorupsi.
- UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
- UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
- Keputusan Presiden No. 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
- UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Setelah diimplementasikan, ternyata instrumen-instrumen hukum belum sepenuhnya dapat memberikan efek jera bagi para koruptor. Mereka hanya mengganggap aturan tersebut sebagai angin lalu yang masih bisa ditelikung. Banyak dari mereka yang mencoba berkelit dan mencari celah untuk bisa lepas dari jeratan hukum. Kasus yang paling anyar adalah bail-out dana Bank Century yang sudah jelas-jelas korupsi tetapi masih belum bisa ditemukan delik-delik korupsinya oleh KPK. Kucuran dana 6,7 Triliyun bukanlah korupsi tetapi diperhalus menjadi kesalahan dalam pengambilan kebijakan.
Strategi pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini terlalu berorientasi pada aspek hukum (legal). Penulis tidak mengatakan bahwa sanksi dan aturan hukum itu tidak perlu. Namun, lebih penting dari itu adalah membangun etika bangsa. Etika berasal dari bahasa Yunani: ethos yang artinya: kebiasaan atau watak sedangkan moral berasal dari bahasa Latin: mos (jamak: morses) yang artinya cara hidup atau kebiasaan (Kumorotomo, 1996: 5). Jadi, etika berarti nilai-nilai baik dan buruk yang membentuk perilaku manusia.
Etika bisa bersumber dari ajaran agama. Misalnya, ibadah sholat lima waktu yang diwajibkan bagi umat Islam merupakan etika Islam yang mengajarkan kepada umatnya untuk disiplin dan menghargai waktu. Etika juga bisa berasal dan norma-norma sosial yang berkembang di dalam masyarakat. Dulu, para ninja Jepang misalnya memiliki semangat bushido atau harakiri, yaitu suatu perasaan malu yang luar biasa terhadap orang lain karena gagal mencapai suatu tujuan sehingga harus ditebus dengan melakukan tindakan membunuh diri sendiri. Sekarang, semangat bushido tersebut tercermin dari tingginya rasa malu masyarakat Jepang. Hal ini bisa dilihat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Orang Jepang sangat disiplin dengan waktu, malu datang terlambat, malu jika melakukan kesalahan, memiliki spirit kerja totalitas dan mau mengundurkan diri dari jabatan jika gagal memenuhi tanggung-jawabnya.
Etika menghasilkan citra (image) diri seorang manusia. Seorang manusia yang beretika akan terlihat dari perilakunya sehari-hari yang penuh kejujuran, disiplin, tanggung-jawab, patuh pada aturan dan malu melakukan kesalahan. Sebaliknya, orang-orang yang tidak beretika akan menampakkan perilaku negatif seperti bangga melakukan kesalahan, senyum-senyum sumringah walaupun sudah divonis bersalah oleh pengadilan karena terbukti korupsi, mengaburkan asal-usul video yang sudah jelas-jelas adalah video hasil perbuatan mesumnya dan lainnya.
Etika dipraktikkan secara bertingkat. Hierarki etika terdiri dari; moral individu, etika profesional, etika organisasi dan etika sosial (Shafritz dan Russell, 1997: 607-608). Dalam realitanya, etika profesional dan etika organisasi sangat menonjol. Kita sudah memiliki sumpah dan kode etik kedokteran, kode etik pengacara, kode etik PNS dan sebagainya. Namun, di sisi lain kita belum memiliki konsep pengembangan moral individu dan etika sosial yang jelas. Lembaga pendidikan yang kita harapkan untuk mengembangkan etika individu dan etika sosial tidak bisa berbuat banyak karena terlalu terjebak pada kurikulum sehingga terlalu dogmatis dan lebih kental nuansa indoktrinasinya. Anak-anak sekolah tidak diajarkan bagaimana seharusnya bersikap jujur dalam kehidupan sehari-hari, mematuhi norma-norma agama dan konsensus sosial, tetapi dipaksa menghapal materi-materi sesuai selera orang yang membuat kurikulum. Akibatnya, setelah kembali ke masyarakat mereka menjadi gamang karena tidak memiliki pegangan etika yang kuat. Jika tidak segera direformasi, generasi-generasi warisan pendidikan seperti inilah yang akan berpotensi mengubur bangsa ini dari peradaban dunia.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, menurut penulis semua tingkatan etika itu harus diaplikasikan secara menyeluruh dan konsisten. Selama ini kita tidak sungguh-sungguh dalam menerapkan etika. Kita terjebak pada proses prosedural dan menghilangkan aspek esensial dari etika itu sendiri. Kalau bicara mengenai aturan, kita sudah memiliki banyak aturan mengenai etika, misalnya etika pejabat negara, etika DPR, etika PNS dan sebagainya. Namun, pernahkah kita menerapkannnya secara konsisten? Sudah seberapa banyak dokter-dokter malpraktek yang diseret ke penjara? Berapa banyak kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat negara yang diselesaikan secara hukum? Sudah berapa tegas kita memberikan sanksi hukum bagi para koruptor? Aparat-aparat penegak hukum kita boleh berdalih bahwa proses hukumnya sedang berjalan. Tetapi mengapa terlalu lambat, sementara warga miskin yang mencuri karena lapar begitu cepatnya dikenakan sanksi. Inilah dilema bangsa ini, terlalu banyak berkutat pada persoalan prosedural tetapi lupa pada aspek yang paling esensial, yaitu kemaslahatan bagi semua.
Inilah tugas kita bersama, menemukan kembali nilai-nilai etika dan mengimplementasikannya secara konsisten. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung-jawab, kemauan untuk berdisiplin, patuh pada hukum negara sesungguhnya melekat pada setiap pribadi. Hanya saja, persoalannya adalah bagaimana kita menumbuhkan menerapkan, dan menginstitusionalisasikan secara konsisten pada semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai ini perlu dikampanyekan, digerakkan, dan diimplementasikan secara konsisten oleh semua institusi di negeri ini. Jika okupasi terhadap nilai-nilai etika berlangsung secara baik dan terlembaga, nilai-nilai inilah yang akan menjadi jalan strategis untuk membentuk citra Indonesia yang lebih baik dan bebas dari korupsi karena semua warga negaranya malu dan takut untuk korupsi.
Penutup
Persoalan korupsi sudah menjadi penyakit akut di Indonesia. Instrumen-instrumen hukum belum sepenuhnya mampu memberikan efek jera bagi para koruptor. Perlu sebuah gagasan atau strategi alternatif dalam pemberantasan korupsi. Gerakan menemukan kembali nilai-nilai etika yang selama ini cenderung diabaikan menjadi layak untuk dijadikan basis strategi pemberantasan korupsi. Implementasi nilai-nilai etika harus dilakukan secara komprehensif, konsisten dan terlembaga. Nilai-nilai etika mampu menjadi instrumen moral untuk menangkal perbuatan korupsi karena bersifat preventif. Dengan demikian, dalam agenda pemberantasan korupsi, menjadi jelas bahwa mencegah lebih baik daripada menghukum.
Referensi
Anonim. 2011. “Ketika Korupsi Menjadi “Gangren”. Kompas 10 Maret 2011.
Klitgaard, Robert. 2005. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wahyudi Kumorotomo. 1996. Etika Administrasi Negara (Cetakan Ketiga). Jakarta: Rajawali Pers.
Manion, Melanie. 2009. “Anticorruption Reform as a Problem of Institutional Design”. Preventing Corruption in Asia: Institutional Design and Policy Capacity. Edited by: Ting Gong dan Stephen K. Ma. New York: Routledge.
Pope, Jeremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional. Penerjemah: Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pukat Korupsi Fakultas Hukum UGM. 2010. “Trend Corruption Report Triwulan-III. Laporan (unpublished).
Shafritz, Jay M. dan E.W Russell. 1997. Introducing Public Administration. New York: Longman.
Shleifer, Andrei dan Robert W. Vishny. 1993. “Corruption”. Quarterly Journal of Economics 108(3): 599-617.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar