Kamis, 31 Maret 2011

HMP UGM Sukses Gelar Semnas dan Lomba Opini Anti Korupsi 2011


Akhirnya, setelah persiapan cukup lama dari panitia, Seminar Nasional Anti Korupsi Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (HMP UGM) Tahun 2011 yang bertajuk “Mungkinkah Indonesia Bersih?: Perspektif Akademis, Gerakan Sosial, Birokrasi dan Penegak Hukum Terhadap Korupsi” dan Lomba Penulisan Opini dengan tema “Mencari Jalan Strategis Menuju Masyarakat Anti Korupsi” telah sukses terlaksana pada hari Rabu, 23 Maret 2011 lalu.

Seluruh pembicara hadir sesuai rencana beserta perwakilan dari pihak rektorat UGM yang hadir untuk membuka acara sekaligus membagikan hadiah bagi para pemenang lomba opini. Acara sendiri dimulai pada pukul 8.30 WIB setelah sebelumnya dilakukan registrasi peserta yang sekaligus pembagian seminar kit. Urutan acara pada semnas hari itu, yakni:
  1. Pembukaan
  2. Sambutan dari pihak HMP UGM
  3. Sambutan dari pihak Rektorat UGM
  4. Pembagian hadiah lomba opini
  5. Tarian Rapa’i Geleng oleh mahasiswa Sastra Arab UGM
  6. Coffee break
  7. Panel semnas dan sesi tanya jawab
  8. Penyerahan plakat kenang-kenangan untuk para pembicara
  9. Penutup
(Berbagai momen yang diambil ketika acara semnas berlangsung)

Dari kegiatan ini diharapkan para peserta seminar dapat lebih mawas diri dari kepungan korupsi yang terus merajalela di negeri ini. ”Korupsi merupakan penyakit akut yang harus diperangi. Semua itu dapat dimulai dari diri sendiri dan di lingkungan terdekat,” ujar Ketua HMP UGM, Hayu Siwi Pribadi ketika menyampaikan kata sambutan. (Nita)

Ikutilah Training Kewirausahaan HMP UGM 2011


Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (HMP UGM) akan kembali menggelar kegiatan dan kali ini bertajuk Training Kewirausahaan HMP UGM 2011 dengan tema ”Menjadi Wirausaha Sejak Mahasiswa”. Kegiatan akan dilaksanakan pada:
Hari/tanggal: Sabtu-Minggu/9-10 April 2011
Pukul : 07.30-17.30 WIB
Tempat: Aula Kedokteran Hewan UGM
Narasumber:
  1. Prof. Dr. Bambang Setiaji, M.Sc (Akademisi dan Pengusaha Pengelola Kelapa)
  2. Prof. Dr. Ir. Irham, M.Sc (Akademisi dan Pengusaha Pengelola Tebu)
  3. Dra. Latifah, M.Si (Akademisi dan Pengusaha Kosmetik)
  4. Hidayat, MT (Akademisi, Mahasiswa dan Pengusaha Sate)
  5. Manager Toko Karita (Pengusaha Konveksi)
  6. Owner Simply Fresh & Astronic (Pengusaha Loundry, Server Pulsa & Rent Car)
Banyak manfaat yang akan diperoleh dengan mengikuti Training Kewirausahaan HMP UGM 2011, antara lain:
  1. Mendapat wawasan dan pengalaman dari para pakar dan praktisi bisnis yang telah sukses dalam bidang usahanya.
  2. Mendapatkan kesempatan menjadi anggota mentoring bisnis HMP UGM selama 6 (enam) bulan.
  3. Mendapatkan partner bisnis untuk menjalankan usaha.
  4. Mendapatkan pinjaman modal usaha dari BMT UGM.*
  5. Mendapat makan, snack, sertifikat, dan modul.
Adapun persyaratan peserta Training Kewirausahaan HMP UGM 2011, yaitu:
  1. Mahasiswa UGM S1, S2 dan S3.
  2. Mempunyai kesiapan dan keberanian menjadi wirausaha.
  3. Bersedia mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir.
  4. Mempunyai rencana usaha yang dipaparkan dalam proposal usaha secara singkat dan jelas.
  5. Membayar kontribusi sebesar Rp. 30.000 bagi S1 dan Rp. 40.000 bagi S2 dan S3.**
  6. Bersedia mengikuti semua aturan selama mengikuti pelatihan.
  7. Bersedia mengikuti follow up sesuai Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) yang akan disusun bersama dalam pelatihan.
Catatan :
*Syarat dan ketentuan berlaku.
**Bagi yang daftar dan membayar lunas sebelum tanggal 31 Maret 2011 discount 50% sehingga hanya wajib membayar Rp. 15.000 untuk S1 dan Rp. 20.000 untuk S2 dan S3. (Bid. KWU HMP UGM)

HMP UGM Gelar Latihan Badminton Bersama


Bingung ingin olahraga tapi tidak punya komunitas? Saat ini, salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), khususnya UKM Olahraga yang berada di bawah payung Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (HMP UGM) memiliki sarana untuk itu. Dengan nama KBP = Komunitas Badminton Pascasarjana UGM, komunitas ini akan menggelar latihan badminton secara rutin setiap hari Minggu, pukul 19.45 – 22.00 WIB bertempat di lapangan badminton 3,4, dan 5 Lembah UGM (tiga lapangan).

Kegiatan ini ditujukan untuk seluruh mahasiswa S2, S3, dan Spesialis UGM tanpa batasan jurusan maupun usia. Jika berminat dan ingin ikut bermain badminton bisa segera menghubungi Bpk. Alief Rakhman di nomor 085640999399. (Nita)

Rabu, 23 Maret 2011

Solusi Korupsi Korporasi

Oleh: Yoga Pratama Samsugiharja
(Mhs. Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM)


Entah mengapa, penggiat gerakan anti korupsi di Indonesia lebih berfokus pada korupsi sektor publik (pemerintahan). Padahal, kasus korupsi yang terjadi diranah pemerintahan bukanlah sebuah sistem korupsi otonomi yang berdiri sendiri, dan pasti melibatkan korupsi sektor privat (swasta). Ini dikarenakan adanya hubungan “teman tapi mesra” antara koruptor ditubuh birokrasi dengan koruptor diranah korporasi.

Tulisan ini mencoba membedah bentuk-bentuk korupsi korporasi yang jamak terjadi, motif-motif korupsi korporasi, serta solusi yang bisa diambil untuk menciptakan korporasi yang bebas dari korupsi.

Teman Tapi Mesra
It takes two to tango. Mungkin istilah ini cocok diterapkan bagi praktik korupsi yang terjadi di Indonesia. Mengapa? Karena salah satu ladang subur korupsi adalah lewat modus pengadaan barang dan jasa serta markup proyek pembangunan. Korupsi jenis ini wajib dilakukan secara “berjamaah” dan tidak bisa dilakukan sendiri. Melibatkan oknum birokrasi serta oknum korporasi.

Biasanya bentuk-bentuk aksi konkret korupsi yang dihasilkan adalah suap, gratifikasi, mark up nilai barang/jasa, serta konflik kepentingan yang saling menguntungkan. Korporasi untung karena memenangkan tender proyek, sedangkan oknum pemerintahan diuntungkan karena mendapat insentif bonus dari korporasi.

Hasil dari korupsi model “duet maut” ini tentu saja menurunnya kualitas pengerjaan proyek serta inefisiensi perekonomian yang berujung pada besarnya kerugian biaya sosial yang ditanggung masyarakat. Jalanan lebih cepat rusak, gedung cepat ambruk, dan infrastruktur amburadul.

Dampak multiplier jangka panjang dari model ini adalah kerentanan korporasi itu sendiri terhadap intervensi politik. Korporasi menjadi manja, terkadang menjadi sapi perah politikus, tidak peka terhadap persaingan, dan membunuh kesempatan korporasi lain yang bisa saja lebih efisien tapi tidak memiliki akses politis kepada penguasa.
Beberapa contoh korupsi “teman tapi mesra” korporasi-birokrasi yang tercatat adalah kasus Katy Industries. Perusahaan ini terjerat Foreign Corruption Act (FCPA), UU anti korupsi di Amerika Serikat (AS), pada 1978. Katy Industries terbukti memberikan suap kepada pejabat Indonesia melalui perusahaan fiktif yang bermarkas di Caymand Island. Atas suap itu, Katy Industries memperoleh hak eksklusif mengelola minyak bumi dan gas selama 30 tahun.

Selain itu masih ada kasus Triton energy pada 1997 dan Monsanto pada 2001. Badan Pengawas Pasar Modal AS (SEC) meneliti laporan keuangan PT Monagro Kimia (anak perusahaan Monsanto di Indonesia) periode 1997-2002 dan ditemukan adanya 140 aliran uang senilai USD700.000 kepada berbagai pejabat, termasuk petinggi Kantor Kementerian Lingkungan Indonesia.[1]

Bentuk-bentuk Korupsi Korporasi
Secara garis besar, korupsi hanyalah salah satu bentuk penyelewengan kekuasaan (fraud) korporasi yang jamak terjadi.[2] Ada tiga jenis fraud yang umum: pertama adalah penyalahgunaan asset korporasi untuk kepentingan pribadi, kedua adalah manipulasi laporan keuangan perusahaan, dan terakhir adalah korupsi.

Bentuk-bentuk korupsi yang dilakukan antara lain penyuapan, penggunaan pengaruh (konflik kepentingan), pemberian gratifikasi, dan ancaman ekonomi (economic extortion). Suap berarti memberikan “insentif” kepada pengambil kebijakan untuk membantu kepentingan pemberi suap. Sementara gratifikasi dapat berarti “uang terima kasih” karena kepentingannya terpenuhi.

Penggunaan pengaruh berarti menciptakan konflik kepentingan terhadap keputusan tertentu. Contohnya seorang supplier yang memiliki hubungan personal dengan pimpinan proyek akan menggunakan kedekatannya agar pimpinan proyek tersebut lebih memilih dia daripada supplier lainnya.

Ancaman ekonomis adalah sebuah usaha intimidatif yang dilakukan untuk mempengaruhi pihak lain agar bersedia membantu melakukan korupsi. Contohnya pimpinan proyek yang meminta kickback (gratifikasi) kepada pengusaha dan mengancam tidak akan menggunakan jasa pengusaha itu lagi di masa depan.

Mengapa Terjadi Korupsi Korporasi?
Menurut teori tradisional, setidaknya ada tiga alasan penyebab korupsi korporasi: kesempatan, tekanan/insentif, dan rasionalisasi.[3] Kesempatan hadir jika mekanisme control internal perusahaan kurang kuat (masalah struktural). Tekanan/insentif hadir jika seorang pelaku korupsi terdesak kebutuhan pribadi dan tergiur insentif yang ada. Misalnya: menghadapi anak yang sakit dan butuh biaya tinggi sementara gajinya sendiri pas-pasan (masalah eksternal). Sementara rasionalisasi adalah alasan “pembenaran” tindakan korupsi yang dilakukan. Biasanya koruptor akan menyalahkan sistem penggajian, tingginya biaya hidup, atau kecilnya dampak korupsi yang ia lakukan (moral personal).

Alasan tersebut tergambar dalam “segitiga setan” dibawah ini:

Bagaimana Solusinya?
Tidak ada sebuah pendekatan yang bisa menjadi panacea (satu obat penawar untuk segala macam penyakit). Diperlukan langkah-langkah yang holistis, pro-aktif sekaligus preventif. Untuk itu penulis mencoba menawarkan solusi berdasarkan “segitiga setan” motif korupsi korporasi diatas. Ini penting, karena kita harus jeli melihat motif yang ada sebagai sumber inspirasi solusi permasalahan pemberantasan korupsi.

Karena ada tiga ranah wilayah motif korupsi, maka diperlukan juga tiga ranah wilayah solusi untuk memperbaiki “segitiga setan” yang ada. Menurut penulis, langkah-langkah yang bisa diambil adalah:
  • Permasalahan struktural korporasi diselesaikan dengan penerapan Good Corporate Governance.
  • Permasalahan eksternal diselesaikan dengan sistem kompensasi berdasarkan meritokrasi yang mencukupi dan penuh insentif untuk tidak melakukan korupsi.
  • Permasalahan moral personal diselesaikan dengan memberlakukan pakta integritas.
Seperti tergambar dalam model dibawah ini:

Penerapan Good Corporate Governance (Pendekatan Struktural)
Kasus-kasus skandal kejahatan besar semacam Enron dan Worldcom telah membuka mata dunia bisnis tentang perlunya penegakan etika dan transparansi dalam perusahaan. Bahkan pemerintah George Bush mendorong lahirnya Sarbane-Oaxley Act yang mengubah peraturan dibidang audit dan pasar modal. Krisis ekonomi yang terjadi pada 2007 juga diyakini karena banyak perusahaan yang tidak menerapkan Good Corporate Governance (GCG) dalam pengelolaannya.

Pada intinyanya, GCG adalah konsep yang mendorong terjadi tata kelola organisasi yang lebih bersih dan transparan. Pemerintah Indonesia sendiri mendorong penerapan GCG lewat keputusan Menko Ekuin nomor KEP/49/M.EKON/11/2004 yang menyetujui berdirinya Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).[4]

GCG diperlukan dalam rangka mendorong pengelolaan perusahaan yang berdasarkan transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kesetaraan dan kewajaran. GCG juga mendorong pemberdayaan fungsi serta kemandirian masing-masing organ perusahaan (direksi, komisaris, pengawas). Diharapkan dengan GCG, seluruh jajaran perusahaan dapat menciptakan keputusan bisnis yang dilandasi etika, moral dan kepatuhan pada peraturan yang berlaku. Pada akhirnya GCG bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan nilai perusahaan itu sendiri.[5]

Prinsip-prinsip yang mendasari GCG antara lain:[6]
Perusahaan yang menerapkan GCG tidak akan melakukan penyuapan untuk mensukseskan proyeknya. Selain melanggar etika, adanya mekanisme control yang kuat didalam perusahaan dapat membuat calon penyuap berpikir dua kali. Mekanisme kontrol ini adalah adanya seperangkat regulasi (disertai sanksi tegas dan jelas) guna mengatur tindakan etika yang tidak boleh dilakukan. Contohnya: perusahaan dengan tegas melarang segala bentuk “lobi tingkat tinggi” dan “upeti” yang diberikan kepada pejabat pemerintahan saat tender proyek.

Perbaikan Kompensasi (Pendekatan Eksternal)
Salah satu penyebab terjadi korupsi baik korporasi maupun sektor publik adalah rendahnya kesejahteraan yang diberikan. Untuk itu, penerapan remunerasi berdasarkan kinerja wajib dilakukan. Baik oleh korporasi, maupun birokrasi pemerintahan. Perbaikan kesejahteraan dalam bentuk remunerasi birokrasi sendiri baru dimulai sekitar tahun 2007 di Departemen Keuangan. Diharapkan semua departemen pemerintahan pada akhirnya mendapatkan remunerasi. Sedangkan disektor korporasi, metode kompensasi gaji yang diberikan dapat disesuaikan dengan kemampuan internal perusahaan. Sejak mencuatnya kasus Gayus Tambunan, terjadi perdebatan apakah perbaikan kesejahteraan pasti menghasilkan peningkatan kinerja dan hilangnya praktik korupsi. Meski demikian, langkah ini wajib dilakukan guna mencegah corruption by needs.[7]

Pakta Integritas (Moral)
Penandatanganan pakta integritas adalah salah satu cara untuk menggugah hati nurani seseorang. Dengan berjanji kepada dirinya sendiri, setidaknya akan terjadi konflik batin jika ia akan melakukan korupsi. Sebenarnya pakta integritas hanya mengingatkan agar seseorang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai etika yang ada. Saat ini pakta integritas sudah mulai diterapkan kepada pejabat publik. Padahal pelaku korporasi dan dunia usaha juga memerlukannya sebagai panduan etika bisnis dan mencegah terjadinya tindakan koruptif manipulatif.[8]

Penutup
Pada akhirnya, korupsi korporasi adalah white collar crime yang berdampak pada masyarakat atau sektor publik itu sendiri. Berusaha melakukan dikotomi, fragmentasi, dan hanya berfokus pada korupsi ditubuh pemerintahan tanpa memikirkan korupsi korporasi sama saja dengan memakai separuh kaca mata kuda.

Dengan penerapan GCG, pemberian kompensasi memadai, dan pemberlakuan pakta integritas, minimal dunia korporasi dapat meredam wabah korupsi yang ada. Sehingga dimasa depan tidak ada lagi pelaku dunia korporasi yang menawarkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme guna memenangkan persaingan dunia bisnis.

[1] Erry Riyana H dan Aan Rukmana. "Korupsi Perusahaan dan Upaya Mengontrolnya". Dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (editor). 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta: Gramedia
[2] Hall, James dan Tommie Singleton. 2005. Information Technology Auditing and Assurance. Thompson South Western
[3] Hunton et al. 2005. Core Concept of Information Technology Auditing. Willey College
[4] Erry Riyana dan Aan Rukmana. Op cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Berdasarkan kebutuhan, korupsi dapat dibagi menjadi by needs (kebutuhan hidup) atau by greeds (keserakahan)
[8] Profesi seperti akuntan publik memiliki pakta integritas lewat proses pengambilan sumpah profesi. Seharusnya, metode ini dapat dipakai untuk seluruh jajaran perusahaan dan terutama direksi.

Korupsi dan Masa Depan Indonesia: Menemukan Kembali Nilai-nilai Etika

Oleh: Wayu Eko Yudiatmaja
(Mhs. S2 Manajemen dan Kebijakan Publik FISIP UGM)


Pendahuluan
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh kasus mafia pajak yang dilakukan oleh pegawai Departemen Keuangan Gayus Tambunan. Kasus ini langsung menjadi sorotan publik karena menyeret beberapa pejabat negara, pengusaha, petinggi partai politik bersama oknum pegawai Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Jauh sebelum itu, sebenarnya banyak kasus serupa yang menjadi headline di beberapa media massa nasional seperti kasus travel check Miranda S. Goeltom kepada beberapa anggota DPR guna memuluskan langkahnya menjadi Deputi Senior Bank Indonesia, skandal suap Artalita Suryani dan tentu saja paling menjadi sensasi yaitu kasus 6,7 trilyun dana bail-out kepada Bank Century, serta jika ingin dirinci satu per satu maka masih banyak lagi yang lainnya.

Fenomena Gayus, Artalita, Skandal Bank Century merupakan potret dari masifnya korupsi di Indonesia. Tidak mengherankan jika ada pameo yang mengatakan bahwa, kalau dulu korupsi itu dilakukan di bawah meja, sekarang korupsi dilakukan secara berjemaah di atas meja. Artinya, korupsi sudah merajalela (rampant) di Indonesia dan berlangsung secara sistematis. Tidak peduli apakah mereka pejabat, militer, penegak hukum, politisi, pengusaha, pegawai negeri semuanya berkolaborasi melakukan korupsi dengan tujuan memperkaya diri sendiri. Akibatnya, setiap kali dilakukan survei, baik oleh lembaga asing maupun survei yang dilakukan oleh lembaga nasional, sudah bisa dipastikan Indonesia selalu berada pada peringkat atas negara paling korup. Salah satunya (sebagaimana yang bisa dilihat pada grafik 1) adalah survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong. Hasil studi PERC menunjukkan bahwa Indonesia masih menduduki peringkat pertama negara terkorup di Asia Pasifik. Survei ini dilakukan dengan mengukur indeks efektivitas investasi di Indonesia. Hasilnya, dari 14 negara yang dipilih sebagai sampel, prosedur dan efektivitas investasi di Indonesia adalah yang paling buruk (80,32), masih jauh dari negara jiran Malaysia (60,7) apalagi Singapura (10,07).



Korupsi sudah menjadi semacam virus yang setiap saat bisa menghancurkan negara ini. Argumen ini bukan tanpa alasan. Coba kita menoleh ke belakang dan belajar dari sejarah. Bagaimana runtuhnya VOC di Indonesia karena perilaku korup dari para pegawainya. Runtuhnya kekuasaan Presiden Soekarno karena korupsi para bawahannya. Jatuhnya rezim Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun karena korupsi yang dilakukan oleh keluarga dan kroni-kroninya.

Korupsi dapat memporak-porandakan peradaban manusia. Jika ini terjadi tentu merupakan persoalan yang serius bagi eksistensi manusia. Kita pasti tidak ingin negara dan bangsa ini terkubur dalam kubangan lumpur korupsi dan bergerak menuju titik nadir. Oleh karena itu, mutlak diperlukan gerakan bersama untuk tidak hanya mengkampanyekan tetapi juga mengokupasi perjuangan (struggle) melawan korupsi. Tulisan ini hadir untuk merealisasikan idealisme tersebut guna memberikan perspektif dan strategi alternatif dalam mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi. Argumen yang ingin disebarkan oleh tulisan ini adalah bahwa korupsi bukan hanya menyangkut persoalan hukum, politik, ekonomi dan sosial, tetapi jauh dari itu korupsi berhubungan dengan nilai-nilai, etika dan moral yang secara perlahan sudah mulai luntur.

Konsepsi Teoritik Korupsi
Banyak pihak yang mencoba mengkonseptualisasikan korupsi. Definisi yang paling umum disampaikan oleh Manion. Menurut Manion (2009: 1) korupsi perbuatan menyalahgunakan (abuse) wewenang yang dilakukan oleh pejabat publik. Korupsi mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka (Pope, 2003: 6-7). Pendapat kedua pakar di atas cenderung mempersempit lokus korupsi pada level publik. Padahal, korupsi bisa terjadi di semua sektor seperti sektor swasta dan organisasi masyarakat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa intensitas korupsi lebih sering terjadi dan melibatkan pejabat di sektor publik karena luasnya kekuasaan pemerintah.

Klitgaard (2005: 31) merumuskan korupsi sebagai tingkah-laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. Korupsi merupakan perbuatan menggunakan properti publik yang dilakukan oleh pejabat pemerintah (Shleifer dan Vishny, 1993: 599). UU No. 31 Tahun 1999 mengatur bahwa korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi dan dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Perbuatan korupsi adalah tindakan menguntungkan diri sendiri dan orang lain karena kekuasaan yang dimilikinya sehingga perlu diberikan sanksi hukum yang tegas bagi pelaku korupsi. Negara perlu memberikan sanksi (punishment) yang tegas bagi aparat negara dan masyarakat yang terbukti melakukan korupsi.

Dalam masyarakat sering terjadi kekeliruan dalam menggunakan istilah korupsi. Korupsi seringkali disamakan dengan kolusi dan nepotisme. Ketiga konsep ini sebenarnya memiliki perbedaan yang signifikan. Dengan demikian, perlu dibedakan antara korupsi dengan kolusi dan nepotisme. Korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Sedangkan kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antarpenyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Nepotisme merupakan setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Korupsi di Indonesia
Fenomena korupsi di Indonesia tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Korupsi adalah refleksi masyarakat Indonesia yang sedang menuju tahap modern. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hampir setiap hari, baik di media massa cetak maupun media massa elektronik kita sering disuguhi informasi mengenai korupsi. Akibatnya, semua orang santer membicarakannya karena korupsi sudah menjadi buah bibir.

Korupsi sudah melintas batas-batas struktural dan regional dalam masyarakat Indonesia. Dari segi aktor, pelaku tindak pidana korupsi bisa saja beragam sesuai dengan struktur sosial mereka di dalam masyarakat. Dari hasil pantauan Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Universitas Gadjah Mada pada triwulan ketiga 2010, dari 113 kasus korupsi yang diamati, melibatkan 236 pelaku. Pelaku korupsi tersebut diklasifikasikan atas; anggota DPR, kepala daerah atau mantan kepala daerah, direktur utama perseroan terbatas, kepala dinas, pejabat departemen, kepala desa, pegawai dinas pemerintah daerah, anggota atau mantan anggota DPRD, kepala sekolah, sekretaris daerah, mantan menteri, perangkat desa, pejabat universitas, pengusaha, pengurus koperasi, anggota organisasi kemasyarakatan, kepala kantor pajak, auditor BPK, pegawai pemerintah kabupaten atau pemerintah provinsi, polisi, anggota atau pegawai Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), kepala kantor pos, direktur umum perusahaan daerah, dokter, camat, kepala kantor pertanahan, pengurus klub, pegawai kantor DPRD, pegawai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), ketua proyek, pegawai bank, pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), makelar kasus, hakim, pegawai pajak, masyarakat biasa dan pemuka agama (Pukat Korupsi, 2010: 3). Dari segi kewilayahan, korupsi sudah hampir merata terjadi di Indonesia. Data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah ini dapat membuktikan asumsi tersebut.



Etika: Membangun Karakter Bangsa
Virus korupsi sudah berada pada step yang membahayakan di Indonesia. Lalu, apa yang telah kita lakukan untuk memberantasnya? Dari perspektif hukum, kita boleh berbangga hati karena kita sudah memiliki banyak aturan hukum yang mengatur masalah tindak pidana korupsi. Ada beberapa aturan yang sudah dibuat sebagai agenda pemberantasn korupsi, diantaranya:
  1. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
  2. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN.
  3. UU No. 31 Tahun 1999 (jo) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  4. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
  5. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
  6. Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
  7. UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
  8. Keputusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Kemanan No. Kep-54/Menko/Polhukam/12/2004 tentang Tim Terpadu Pencari Terpidana dan Tersangka Tindak Pidana Korupsi.
  9. UU No. 1 Tahun 2006 tentang Batuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
  10. UU No. 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Antikorupsi.
  11. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
  12. UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
  13. Keputusan Presiden No. 37 Tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
  14. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Setelah diimplementasikan, ternyata instrumen-instrumen hukum belum sepenuhnya dapat memberikan efek jera bagi para koruptor. Mereka hanya mengganggap aturan tersebut sebagai angin lalu yang masih bisa ditelikung. Banyak dari mereka yang mencoba berkelit dan mencari celah untuk bisa lepas dari jeratan hukum. Kasus yang paling anyar adalah bail-out dana Bank Century yang sudah jelas-jelas korupsi tetapi masih belum bisa ditemukan delik-delik korupsinya oleh KPK. Kucuran dana 6,7 Triliyun bukanlah korupsi tetapi diperhalus menjadi kesalahan dalam pengambilan kebijakan.

Strategi pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini terlalu berorientasi pada aspek hukum (legal). Penulis tidak mengatakan bahwa sanksi dan aturan hukum itu tidak perlu. Namun, lebih penting dari itu adalah membangun etika bangsa. Etika berasal dari bahasa Yunani: ethos yang artinya: kebiasaan atau watak sedangkan moral berasal dari bahasa Latin: mos (jamak: morses) yang artinya cara hidup atau kebiasaan (Kumorotomo, 1996: 5). Jadi, etika berarti nilai-nilai baik dan buruk yang membentuk perilaku manusia.

Etika bisa bersumber dari ajaran agama. Misalnya, ibadah sholat lima waktu yang diwajibkan bagi umat Islam merupakan etika Islam yang mengajarkan kepada umatnya untuk disiplin dan menghargai waktu. Etika juga bisa berasal dan norma-norma sosial yang berkembang di dalam masyarakat. Dulu, para ninja Jepang misalnya memiliki semangat bushido atau harakiri, yaitu suatu perasaan malu yang luar biasa terhadap orang lain karena gagal mencapai suatu tujuan sehingga harus ditebus dengan melakukan tindakan membunuh diri sendiri. Sekarang, semangat bushido tersebut tercermin dari tingginya rasa malu masyarakat Jepang. Hal ini bisa dilihat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Orang Jepang sangat disiplin dengan waktu, malu datang terlambat, malu jika melakukan kesalahan, memiliki spirit kerja totalitas dan mau mengundurkan diri dari jabatan jika gagal memenuhi tanggung-jawabnya.

Etika menghasilkan citra (image) diri seorang manusia. Seorang manusia yang beretika akan terlihat dari perilakunya sehari-hari yang penuh kejujuran, disiplin, tanggung-jawab, patuh pada aturan dan malu melakukan kesalahan. Sebaliknya, orang-orang yang tidak beretika akan menampakkan perilaku negatif seperti bangga melakukan kesalahan, senyum-senyum sumringah walaupun sudah divonis bersalah oleh pengadilan karena terbukti korupsi, mengaburkan asal-usul video yang sudah jelas-jelas adalah video hasil perbuatan mesumnya dan lainnya.

Etika dipraktikkan secara bertingkat. Hierarki etika terdiri dari; moral individu, etika profesional, etika organisasi dan etika sosial (Shafritz dan Russell, 1997: 607-608). Dalam realitanya, etika profesional dan etika organisasi sangat menonjol. Kita sudah memiliki sumpah dan kode etik kedokteran, kode etik pengacara, kode etik PNS dan sebagainya. Namun, di sisi lain kita belum memiliki konsep pengembangan moral individu dan etika sosial yang jelas. Lembaga pendidikan yang kita harapkan untuk mengembangkan etika individu dan etika sosial tidak bisa berbuat banyak karena terlalu terjebak pada kurikulum sehingga terlalu dogmatis dan lebih kental nuansa indoktrinasinya. Anak-anak sekolah tidak diajarkan bagaimana seharusnya bersikap jujur dalam kehidupan sehari-hari, mematuhi norma-norma agama dan konsensus sosial, tetapi dipaksa menghapal materi-materi sesuai selera orang yang membuat kurikulum. Akibatnya, setelah kembali ke masyarakat mereka menjadi gamang karena tidak memiliki pegangan etika yang kuat. Jika tidak segera direformasi, generasi-generasi warisan pendidikan seperti inilah yang akan berpotensi mengubur bangsa ini dari peradaban dunia.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, menurut penulis semua tingkatan etika itu harus diaplikasikan secara menyeluruh dan konsisten. Selama ini kita tidak sungguh-sungguh dalam menerapkan etika. Kita terjebak pada proses prosedural dan menghilangkan aspek esensial dari etika itu sendiri.  Kalau bicara mengenai aturan, kita sudah memiliki banyak aturan mengenai etika, misalnya etika pejabat negara, etika DPR, etika PNS dan sebagainya. Namun, pernahkah kita menerapkannnya secara konsisten? Sudah seberapa banyak dokter-dokter malpraktek yang diseret ke penjara? Berapa banyak kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat negara yang diselesaikan secara hukum? Sudah berapa tegas kita memberikan sanksi hukum bagi para koruptor? Aparat-aparat penegak hukum kita boleh berdalih bahwa proses hukumnya sedang berjalan. Tetapi mengapa terlalu lambat, sementara warga miskin yang mencuri karena lapar begitu cepatnya dikenakan sanksi. Inilah dilema bangsa ini, terlalu banyak berkutat pada persoalan prosedural tetapi lupa pada aspek yang paling esensial, yaitu kemaslahatan bagi semua.

Inilah tugas kita bersama, menemukan kembali nilai-nilai etika dan mengimplementasikannya secara konsisten. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung-jawab, kemauan untuk berdisiplin, patuh pada hukum negara sesungguhnya melekat pada setiap pribadi. Hanya saja, persoalannya adalah bagaimana kita menumbuhkan menerapkan, dan menginstitusionalisasikan secara konsisten pada semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai ini perlu dikampanyekan, digerakkan, dan diimplementasikan secara konsisten oleh semua institusi di negeri ini. Jika okupasi terhadap nilai-nilai etika berlangsung secara baik dan terlembaga, nilai-nilai inilah yang akan menjadi jalan strategis untuk membentuk citra Indonesia yang lebih baik dan bebas dari korupsi karena semua warga negaranya malu dan takut untuk korupsi.

Penutup
Persoalan korupsi sudah menjadi penyakit akut di Indonesia. Instrumen-instrumen hukum belum sepenuhnya mampu memberikan efek jera bagi para koruptor. Perlu sebuah gagasan atau strategi alternatif dalam pemberantasan korupsi. Gerakan menemukan kembali nilai-nilai etika yang selama ini cenderung diabaikan menjadi layak untuk dijadikan basis strategi pemberantasan korupsi. Implementasi nilai-nilai etika harus dilakukan secara komprehensif, konsisten dan terlembaga. Nilai-nilai etika mampu menjadi instrumen moral untuk menangkal perbuatan korupsi karena bersifat preventif. Dengan demikian, dalam agenda pemberantasan korupsi, menjadi jelas bahwa mencegah lebih baik daripada menghukum.

Referensi
Anonim. 2011. “Ketika Korupsi Menjadi “Gangren”. Kompas 10 Maret 2011.
Klitgaard, Robert. 2005. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wahyudi Kumorotomo. 1996. Etika Administrasi Negara (Cetakan Ketiga). Jakarta: Rajawali Pers.
Manion, Melanie. 2009. “Anticorruption Reform as a Problem of Institutional Design”. Preventing Corruption in Asia: Institutional Design and Policy Capacity. Edited by: Ting Gong dan Stephen K. Ma. New York: Routledge.
Pope, Jeremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional. Penerjemah: Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pukat Korupsi Fakultas Hukum UGM. 2010. “Trend Corruption Report Triwulan-III. Laporan (unpublished).
Shafritz, Jay M. dan E.W Russell. 1997. Introducing Public Administration. New York: Longman.
Shleifer, Andrei dan Robert W. Vishny. 1993. “Corruption”. Quarterly Journal of Economics 108(3): 599-617.

Pendidikan Karakter Sedini Mungkin: Terowongan Menuju Masyarakat Madani Anti Korupsi

Oleh: Ricky Septian Wijaya
(Mhs. S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM)


Pendahuluan
“Indonesia adalah negara terkorup di Asia”. Itulah bunyi berita yang sering dipublikasikan dan terdengar hingga ke mancanegara. Korupsi seakan-akan menjadi suatu “tanda pengenal” bagi Indonesia dalam masyarakat dunia, utamanya sejak rezim Orde Baru. Masyarakat kita memiliki berbagai macam reaksi terhadap kenyataan pahit ini. Tidak sedikit yang cuek, tetapi ada juga kelompok-kelompok yang mulai memunculkan pertanyaan: “Apa itu korupsi? Mengapa bisa terjadi korupsi?” Para pengaju pertanyaan-pertanyaan tersebut prihatin dan berusaha menunjukkan kepeduliannya terhadap masalah ini, walau mereka sendiri mengetahui bahwa apa daya mereka untuk memerangi penyakit kronis yang mengancam sendi-sendi kehidupan bernegara ini.

Korupsi merupakan bagian dari negeri ini. Bahkan korupsi telah ada lama sebelum negeri ini disebut Indonesia. Tidaklah salah membenarkan pendapat sebagian orang yang menyatakan bahwa “Korupsi merupakan kultur bangsa Indonesia”. Bahwasanya korupsi telah ada sebelum Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua menyatakan diri sebagai satu Indonesia. Jauh sebelum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dikumandangkan, kerajaan-kerajaan yang tersebar di belantara Indonesia kuno telah mengenal korupsi dalam tindakan para kaisar, aristokrat, dan kaum bangsawan.  Sejarah mencatat betapa tradisi korupsi telah merusak kerajaan-kerajaan termahsyur di Indonesia kuno. Pemerintahan yang korup menyebabkan pemberontakan terjadi dalam kerajaan Majapahit. Kehancuran kerajaan-kerajaan besar Indonesia tempo dulu tidak lepas dari perilaku korup sebagian besar kaum bangsawannya.

Dewasa ini, media cetak maupun elektronik di negeri ini hampir tiap hari menampilkan berita tentang korupsi para pejabat negara. Wabah korupsi di Indonesia kini telah menjadi gurita yang cengkramannya menyeret sebagian besar aparatur negara yang notabene menjadi penjaga stabilitas negara. Lingkaran setan persoalan korupsi terus  menggempur bangsa Indonesia di tengah usahanya untuk merangkak maju. Kasus Bank Century, skandal mafia pajak yang melibatkan banyak pejabat  negara (Tempo 19-25/4/2010) adalah sedikit dari banyak tindakan koruptif di negeri ini. Kongkalikong antara pejabat negara dan para pengusaha bukan lagi sebuah berita baru, malah menjadi sesuatu yang wajar dan dimaklumi. Namun  korupsi kini bukan hanya milik mereka yang berpangkat. Dari kepala desa hingga pejabat negara kini tak luput dari korupsi. Agenda reformasi untuk memberantas korupsi yang telah dimulai beberapa tahun silam seakan berjalan di tempat. Reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme belum mencapai tujuan yang dicita-citakan. Nampaknya korupsi telah menjadi suatu penyakit kronis, menahun dan struktural sifatnya serta menggerogoti bangsa Indonesia dalam seluruh dimensi kehidupannya. Seberapa parahkah moralitas anak bangsa sehingga mereka mudah dijangkiti korupsi dan tak lagi mengindahkan  tata hidup bersama?

Korupsi Sebagai Dilema Moral-Etis
Korupsi ialah tindakan mengambil atau menggelapkan apa yang bukan miliknya untuk kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi dipandang sebagai sebuah patologi sosial  sebab korupsi pada saat yang sama merampas hak hidup orang lain. Para koruptor adalah mereka yang mencederai kesejahteraan warga negara lainnya sebab mereka bertindak berdasarkan dorongan untuk menumpuk kekayaan pribadi dan mengabaikan kesejahteraan bersama. Inilah bahaya laten yang bisa mengancam societas bangsa Indonesia. Robert Klitgaard berujar bahwa korupsi terjadi jika ada monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang yang memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.

Para founding father bangsa Indonesia telah lama menyadari bahaya laten korupsi ini. Melalui pasal 33 UUD 1945 mereka dengan tegas menempatkan kesejahteraan seluruh bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan. Karena itu monopoli dan aneka praktik lainnya yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi dilarang, sebab mengabaikan kesejahteraan semua warga negara. Korupsi yang menggurita dan merajalela saat ini lebih karena kurangnya budaya malu dari setiap orang untuk melakukan praktik korupsi. Budaya malu untuk korupsi menjadi penting sebab budaya malu hendak menjelaskan sebuah persoalan penting yang  menyentuh ranah etis.

Malu untuk korupsi mencerminkan kedalaman moralitas seseorang. Memasyarakatkan budaya malu untuk korupsi boleh dikatakan sebagai sebuah langkah  awal yang mesti dimiliki oleh setiap pribadi agar gurita korupsi tidak menjalar semakin luas serta cengkramannya tidak semakin dalam. Korupsi yang mencederai kehidupan bersama sungguh sangat mengancam persatuan bangsa yang semestinya dijaga.

Korupsi mudah memecah belah kesatuan bangsa sebab korupsi bisa membuat kesejahteraan bersama suatu bangsa tergadaikan. Penempatan semangat komunitarian ini mengandung makna yang mendalam bagi setiap orang khususnya bagi para aparatur negara yang  rentan dengan penyalahgunaan jabatannya. Di sana terbersit sebuah panggilan untuk bertindak dan bertanggung jawab terhadap keutuhan bangsa. Maka setiap tindakan korupsi (yang selalu bertendensi egosentris) merupakan tindakan yang melukai prinsip kemanusiaan dan mengancam kesatuan bangsa. Dengan kata lain korupsi merampas kehidupan karena gagal melihat orang lain sebagai sesama. Prinsip altrusitis ini membawa kita pada realitas bangsa Indonesia yang sebagian besar warga negaranya berada di bawah garis kemiskinan. Wajah-wajah lusuh anak jalanan sejatinya mengugah setiap pribadi untuk bertindak secara manusiawi. Inilah panggilan paling luhur yang dimiliki oleh manusia. Penampakan wajah sesama yang menampilkan penderitaan mengajak  kita untuk bertindak dan berbagi. Melalui Emanuel Levinas (Bertens, 2006: 318-328) kita diajak untuk menyelami dan menceburkan diri dalam keluhuran manusia yang direpresentasikan dengan penampakan wajahnya. Dengan demikian membiarkan sesama menderita merupakan hal yang berseberangan dengan gagasan Levinas. Gagasan Levinasian ini mestinya menjadi sebuah bahan pertimbangan bagi para aparatur negara untuk tidak melakukan korupsi. Bahwa dengan korupsi mereka justru menjadi musuh bersama bagi  panggilan luhur ini.

Persoalannya ialah para koruptor tak memiliki nurani untuk melihat realitas. Kepekaan mereka tak terusik melihat fakta kemiskinan bangsa ini sebab mereka hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Bahkan tragisnya mereka mengumbar janji tanpa realisasi. Kesadaran akan realitas tersebut semestinya menjadi pelecut yang menggugah mereka untuk lebih berorientasi pada kesejahteraan semua orang.

Carut Marut Penegakan Hukum
Menurut penelitian, 85% tindakan korupsi disebabkan oleh kebutuhan dan 15%-nya karena keserakahan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa korupsi terjadi sebagai pertemuan antara niat dan kesempatan. Niat terkait dengan perilaku, dan perilaku tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai (values). Kesempatan terbuka karena kelemahan sistem. Jika melihat kondisi terkini, pemerintah yang berkuasa saat ini dengan gencar menyerukan perang terhadap korupsi. Banyak lembaga yang dibentuk untuk memerangi korupsi. Namun sungguh ironis bahwa pada saat yang sama lembaga peradilan yang diharapkan mampu menegakan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia digerogoti dari segala arah oleh wabah korupsi. Para hakim menjadi makelar kasus sehingga membuat penegakan supremasi hukum di Indonesia semakin lemah. Hukum menjadi pasif dan memberi ruang kepada setiap orang untuk berkelit dari tindakan korupsinya.

Ditinjau dari reformasi hukum, usaha untuk memberantas korupsi di Indonesia sangatlah kompleks dan ketat. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi telah diubah dan lebih diberdayakan dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, pengesahan UU Nomor 13 tahun 2006  yang secara khusus melindungi para pelapor kasus korupsi (whistle blowers), serta sederetan undang-undang lainnya merupakan sebuah gebrakan yang tidak memberikan ruang bagi terjadinya korupsi (Kompas 27/4/ 2010). Meski demikian  korupsi masih tetap terjadi bahkan meluas di Indonesia. Korupsi nampaknya telah membudaya di Indonesia. Persoalan utamanya terletak pada perkara buruknya implementasi hukum-hukum yang telah dibuat. Dengan kata lain hukum tidak diindahkan dengan baik.

Fenomena lemahnya penegakan hukum ini telah lama dilihat oleh salah seorang tokoh reformis China, Wang An Shih (1021-1086). Ia mengatakan bahwa pasifitas hukum berjalan seirama dengan buruknya kemanusiaan seseorang (Alatas, 1983: 6-9), sebab hukum yang pasif dan lemah melanggengkan seseorang untuk melakukan korupsi. Analisis Wang terasa sangat relevan untuk situasi bangsa Indonesia dimana korupsi menunjukkan sistem hukum Indonesia lemah. Maka diperlukan hukum yang tegas dan penegak hukum yang berkomitmen terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika pada sisi tertentu lembaga penegak hukum juga digerogoti oleh penyakit kronis korupsi yang membuat mereka tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka pada titik ini warga negara diundang untuk memberikan suara kepada pemerintah. Banyak ruang publik yang bisa digunakan untuk memberikan tekanan kepada pemerintah agar mengusut tuntas kasus korupsi dan memberi hukuman setimpal bagi pelakunya. Dalam bahasa Jürgen Habermas, ruang publik adalah medan dimana gagasan, pikiran dan percakapan masyarakat bertemu. Ruang publik menjadi medan bagi masyarakat untuk bersuara. Karenanya, dapat dikatakan bahwa tugas memberantas korupsi bukan hanya menjadi kewajiban para penegak hukum atau lembaga-lembaga tertentu semisal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Warga negara mesti turut memberi sugesti kepada pemerintah untuk melawan korupsi.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita alami sekarang ini memungkinkan setiap warga negara untuk bersuara di ruang publik. Inilah wujud demokrasi yang sejati. Jejaring sosial dalam dunia virtual kini menjadi ruang publik baru bagi warga negara untuk bersuara menentang korupsi. Meski demikian masih banyak ruang publik lain untuk mengeskpresikan pendapatnya dalam memerangi korupsi.

Pendidikan Karakter: Menuju Indonesia Bebas Korupsi
Menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, peran serta masyarakat amatlah penting, karena pencegahan dan penindakan korupsi dilakukan dalam perspektif pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Namun realitanya, pemberantasan korupsi tidak mengikutsertakan partisipasi masyarakat; tidak memadai pada komponen pencegahan; bagus hanya pada beberapa tahun pertama; diarahkan pada penghukuman, tidak cukup perhatian pada pelacakan aset hasil korupsinya. Kesemuanya itu membuktikan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia belum berjalan efektif. Melihat realitas korupsi yang terjadi di Indonesia banyak para pakar yang mengatakan bahwa Indonesia bebas korupsi hanya mungkin akan terealisasi dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan.

Untuk memberantas korupsi dari bumi Indonesia ini, mutlak diperlukan sebuah restrukturisasi hukum. Sistem hukum mesti dirombak secara total. Sistem hukum yang memberikan ruang kepada para calon koruptor untuk beraksi mesti diubah. Namun yang lebih penting dari itu perlu adanya kesadaran bersama dari seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk melihat korupsi sebagai sebuah penyakit moral yang mesti diperangi. Sebuah gerakan penyadaran masyarakat yang berskala nasional mesti digalang. Gerakan penyadaran ini bisa dimulai dari hal-hal kecil. Karena itu sektor pendidikan memegang peranan yang penting.

Penanaman kesadaran sejak dini dalam diri setiap pribadi paling efektif jika dilakukan melalui jalur pendidikan. Korupsi yang dilakukan secara besar-besaran oleh seorang pribadi bukanlah tanpa awal. Mentalitas korupsi terbentuk oleh karena kebiasaan-kebiasaan buruk yang tak pernah disadari hingga akhirnya menyebabkan rasa malu dalam diri seseorang kian menebal. Karena itu pendidikan budi pekerti kian urgen. George Santayana pernah menelurkan gagasan: “Kebiasaan lebih kuat dari nalar”. Menyitir Santayana, kebiasaan untuk memberikan input yang baik kepada setiap pribadi mempunyai daya persuasif yang lebih kuat dari pada nalar. Kebiasaan pada level tertentu bisa mengalahkan nalar. Poin ini mau menjelaskan sebuah perkara: bahwa kebiasaan membentuk kepribadian seseorang. Hanya dengan membiasakan anak didik diajari  pendidikan moral yang memadai maka budaya korupsi dapat dikurangi sebab kesadarannya selalu diarahkan pada hal-hal positif.

Tekad dan karakter kuat untuk memerangi korupsi dapat dibina melalui pendidikan karakter. Mengapa pendidikan karakter penting? Karena sebagai bangsa yang ingin merdeka dari korupsi, kita menegakkan kehidupan nasional berdasarkan ideologi negara sesuai dengan amanat UUD 1945, terutama  “....... memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.....” dapat bermakna sebagai visi-misi: ”...... nation and character building......” dengan prasyarat : sosial ekonomi rakyat sejahtera. Artinya, manusia yang berbudaya dan beradab, serta berkarakter luhur, dan bermartabat yang memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pengabdiannya. Karakter adalah modal terbesar kemajuan bangsa yang tidak terlihat.

Pendidikan karakter antikorupsi diharapkan dapat memotivasi mahasiswa (yang selanjutnya dapat mensosialisasikannya di tingkat masyarakat), untuk mengenali dahulu segala hal tentang korupsi, sebagai pedoman untuk menjadi agen perubahan melawan korupsi. Tak kenal maka tak mampu melawan. Korupsi telah membuat penegakan hukum dan layanan masyarakat menjadi amburadul, pembangunan fisik terbengkelai, hilangnya kesempatan orang-orang berprestasi untuk menduduki posisi penting karena tidak punya uang atau kekuasaan, demokrasi tidak berjalan baik, perekonomian menjadi tidak efisien karena siapapun yang ingin membuka usaha dengan modal kecil akan kalah dengan perusahaan besar yang dekat dengan pemegang kekuasaan. Buntutnya, orang asing malas berinvestasi di Indonesia, sehingga rakyat kecil menjadi korban karena untuk mencari kerja demi bertahan hidup menjadi sulit.

Akhirnya, korupsi memang  telah menjadi sebuah wabah  kronis yang tersistematisasi di negara ini. Ia merasuk di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bertanah air. Setiap pribadi mempunyai panggilan yang luhur untuk kembali membawa bangsa Indonesia ini pada jalurnya yang benar. Iklim demokrasi yang mendukung di Indonesia memberi kesempatan yang luas kepada para warga negara untuk menyuarakan pekik anti korupsi. Karena korupsi bukan hanya merugikan kita yang hidup di zaman ini tetapi lebih dari itu mengancam kelangsungan hidup generasi-generasi mendatang. Jika kita yang hidup kini mempunyai moralitas yang baik, yang terbina melalui pendidikan karakter anti korupsi, maka sudah tentu  mata rantai korupsi bisa terputuskan, sebab generasi mendatang tidak kita warisi dengan mentalitas yang melihat korupsi sebagai kelaziman. Indonesia bebas korupsi? Mengapa tidak. Melalui pendidikan karakter sedini mungkin, mari wujudkan dan tunjukkan pada dunia bahwa Indonesia bisa berubah.

Kepustakaan
http://www.stialan.ac.id/artikel%20yogi.pdf
Alatas, S.H. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1983.
Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer, Prancis. Jakarta:Gramedia, 2006.
-----------------. Perspektif Etika,. Esai-Esai tentang Masalah Aktual. Kanisius: Yogyakarta. 2001
Alatas, S.H. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES, 1983.
Hardiman, F. Budi. Demokrasi Deliberatif. Kanisius: Yogyakarta. 2009.
Kompas, 27April 2010
Suara Pembaruan, 20 Agustus 2010
Tempo, 19-25 April 2010

Pengumuman Pemenang Lomba Penulisan Opini HMP UGM


Akhirnya, setelah melakukan proses penilaian yang komprehensif terhadap 11 naskah yang masuk dalam Lomba Penulisan Opini Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (HMP UGM) Tentang Anti Korupsi Tahun 2011 dengan tema ”Mencari Jalan Strategis Menuju Masyarakat Anti Korupsi”, maka pada Selasa, 22 Maret 2011, dewan juri memutuskan nama-nama berikut keluar sebagai pemenang, yakni:
  • Juara I : Yoga Pratama Samsugiharja (Mhs. S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM) dengan judul tulisan "Solusi Korupsi Korporasi" – Nilai 95
  • Juara II : Wayu Eko Yudiatmaja (Mhs. S2 Manajemen dan Kebijakan Publik FISIP UGM) dengan judul tulisan "Korupsi dan Masa Depan Indonesia: Menemukan Kembali Nilai-nilai Etika" – Nilai 90
  • Juara III : Ricky Septian Wijaya (Mhs. S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM) dengan judul tulisan "Pendidikan Karakter Sedini Mungkin: Terowongan Menuju Masyarakat Anti Korupsi" – Nilai 86

Penilaian diawali dengan memperhatikan terpenuhinya persyaratan, aturan penulisan, dan kriteria penulisan yang telah ditentukan oleh panitia lomba opini sebelumnya. Baru kemudian memperhatikan kemenarikan tema atau masalah yang diangkat, kelenturan penuturan atau gaya bahasa, solusi yang ditawarkan, dan kesahihan sumber data yang digunakan dalam penulisan.

Adapun berikut ini 8 naskah lain yang kami urut berdasarkan rangking penilaian dengan maksud untuk terus memacu para penulis yang telah berpartisipasi dalam lomba penulisan opini ini untuk terus berkarya:
  • Ulya Amaliya (Mhs. S1 Ilmu Hubungan Internasional UGM) – Teori Cerdasinting
  • Ahmad Rizani (Mhs. S2 Magister Ekonomi Pembangunan UGM) – Dampak Korupsi dan Upaya Pencegahannya
  • Catur Hendratmo (PNS) – Menyelesaikan Korupsi di Indonesia Harus Dimulai dari Pejabat Publik (Birokrat)
  • M. Reza S. Zaki (Mhs. Ilmu Hukum UGM) – Aforisma Pemberantasan Korupsi Dalam Kerangka Humanisme Justicia
  • Adang Saputra (Mhs. S1 Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga) – Membangun Budaya Anti Korupsi Dengan Pendidikan
  • Jefri Pranata (Mhs. S2 Magister Manajemen Agribisnis UGM) – Korupsi, Bagai Hama di Ladang Tani
  • Ika Pasca Himawati (Mhs. PIPS Sosiologi Antropologi FKIP UNS) – Korupsi: Penggerat Keutuhan Negeri
  • Ismail (Umum) – Masyarakat Tanpa Korupsi dengan IAK, EAK, dan SAK

Demikian pengumuman atas Lomba Penulisan Opini HMP UGM Tentang Anti Korupsi Tahun 2011 ini kami buat dengan sebenar-benarnya, dan segala keputusan yang telah ditetapkan oleh dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Kepada seluruh para peserta penulisan opini, kami ucapkan terima kasih atas partisipasi dan salam sukses selalu untuk Anda. Kemudian untuk para pemenang, kami tunggu kehadirannya di acara Seminar Nasional Anti Korupsi yang bertajuk “Mungkinkah Indonesia Bersih?: Perspektif Akademis, Gerakan Sosial, Birokrasi dan Penegak Hukum Terhadap Korupsi”, pada hari Rabu, 23 Maret 2011 di UC UGM untuk mengikuti pembagian hadiah secara langsung. (Nita)

Sabtu, 19 Maret 2011

Audiensi HMP UGM ke Rektor UGM


Dalam waktu dekat, Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (HMP UGM) akan melaksanakan beberapa agenda besar. Untuk itulah, perlu adanya pelaporan ke pihak rektorat, yang dalam hal ini berupa audiensi langsung ke Rektor UGM 2007-2012, Prof. Sudjarwadi.

Agenda besar itu adalah pelaksanaan Seminar Nasional Anti Korupsi yang bertajuk “Mungkinkah Indonesia Bersih?: Perspektif Akademis, Gerakan Sosial, Birokrasi dan Penegak Hukum Terhadap Korupsi” dan Lomba Penulisan Opini dengan tema “Mencari Jalan Strategis Menuju Masyarakat Anti Korupsi” pada Rabu, 23 Maret 2011. Kemudian, pelaksanaan Expo Seni Budaya Nasional dan Internasional pada pertengahan bulan Mei 2011 mendatang. Sekaligus pelaksanaan Recovery Merapi di Dusun Boyong yang masih terus berlangsung sejak awal tahun 2011 hingga saat ini.


Pihak HMP UGM yang mewakili pertemuan ini adalah Hayu Siwi Pribadi (Ketua Umum), Alimansyah (Sekretaris Umum), M. Aditya Pradana (Koord. Dept. Kerjasama), Sumarni Bayu Anita (Anggota Dept. Media dan Opini), dan Laily Agustina Rahmawati (Anggota Bid. Kajian Strategis). Sedangkan dari pihak Rektorat UGM, selain Pak Rektor, juga ada Direktur Kemahasiswaan UGM, Drs. Haryanto, M.Si. Pertemuan berlangsung di Ruang Rektor UGM, Selasa, 1 Maret 2011.

Penerimaan positif dari pihak rektorat atas kinerja yang dilakukan HMP UGM sebagai himpunan yang membawahi organisasi kemahasiswaan Pascasarjana UGM jelas memberikan semangat bagi para pengurus HMP UGM untuk terus melakukan tanggung jawab yang diemban selama satu tahun masa kepengurusan. ”Semoga HMP UGM bisa menjadi gula bagi mahasiswa Pascasarjana UGM dalam setiap pelaksanaan kegiatan yang dilakukan,” ujar Prof. Sudjarwadi ketika audiensi dilaksanakan. (Nita)

Serunya Arisan HMP ke-3 di Gembira Loka


Siapa yang tidak tahu Gembira Loka? Sebuah kawasan kebun binatang terpadu yang menjadi salah satu tempat rekreasi di Yogyakarta. Tempatnya seru karena banyak mengkoleksi hewan-hewan menarik untuk dilihat. Selain itu, juga disediakan wahana-wahana permainan air yang wajib dicoba kalau kamu ke sana. Sayangnya, saat kita ke sana, sedang dilakukan renovasi pinggiran danau yang di tengahnya terdapat rumah yang menjadi saksi bisu gempa Yogya beberapa tahun lalu.

Sembari berkeliling melihat koleksi hewan, berfoto ceria, kami sempat menyaksikan atraksi hewan yang sangat lucu. Ada burung kakak tua, linsang, beruang madu, dan orang utan yang beraksi kali ini. Tak pelak hari-hari yang biasanya penuh dengan materi kuliah cukup disegarkan dengan atraksi gratis bagi pengunjung yang berlangsung selama 30 menit ini.

Nah, kunjungan ke Gembira Loka ini sekaligus menjadi acara arisannya ibu-ibu/mbak-mbak Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (HMP UGM) yang ketiga, Minggu, 27 Februari 2011. Kali ini yang kembali berpartisipasi adalah Testi, Juwita, Nita, Ijeh, dan Imhe. Dan yang beruntung mendapatkan uang arisan periode ini adalah Testi. Nah, untuk arisan mendatang direncanakan berupa praktek keterampilan bersama. Jangan sampai tidak ikutan ya... (Nita)

Selasa, 08 Maret 2011

HMP UGM Gelar Seminar Nasional dan Lomba Penulisan Opini Anti Korupsi


Sebagai langkah nyata peran serta dalam usaha pemberantasan korupsi yang kini marak diperjuangkan oleh berbagai elemen di negeri ini, Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (HMP UGM) turut mengambil bagian dengan menggelar Seminar Nasional Anti Korupsi yang bertajuk “Mungkinkah Indonesia Bersih?: Perspektif Akademis, Gerakan Sosial, Birokrasi dan Penegak Hukum Terhadap Korupsi” dan Lomba Penulisan Opini dengan tema “Mencari Jalan Strategis Menuju Masyarakat Anti Korupsi”.

Acara seminar nasional akan diselenggarakan di University Club (UC) UGM pada hari Rabu, 23 Maret 2011 pukul 08.00-12.00 WIB dengan para pembicara yang berkompeten di bidangnya, yakni Dedie A. Rachim (Direktur Dikyanmas KPK), Zainal Arifin Mochtar (Dosen FH UGM, Direktur PUKAT), Dr. Aris Arif Mundayat (Dosen KBM UGM, Direktur SIDAK), dan H. Herry Zudianto (Wali Kota Yogyakarta 2006-2011). Dengan kontribusi sebesar Rp 15.000,- (mahasiswa UGM) dan Rp 20.000,- (mahasiswa non UGM/umum), peserta seminar nasional akan mendapatkan fasilitas berupa seminar kit, coffee break, dan sertifikat. Adapun pendaftaran telah dapat dilakukan pada tanggal 7-22 Maret 2001 dengan cara sms dengan format: nama lengkap_NIM_fakultas/universitas/instansi_kategori peserta seminar ke nomor 081804845000 (Hardanto), 085743022004 (Hamdan), 081398030907 (Yuli), dan 085266802652 (Testi). Untuk pembayaran kontribusi dapat dilakukan pada hari pelaksanaan seminar ketika registrasi ulang.

Adapun untuk lomba penulisan opini digelar untuk mengetahui opini mahasiswa dan masyarakat mengenai korupsi. Lomba yang digelar untuk umum ini berhadiah uang, sertifikat, dan bingkisan menarik. Panitia lomba penulisan opini menerima berkas pada 7-21 Maret 2011 dengan cara dikirim langsung ke sekretariatan HMP UGM atau melalui email di hmpugm@gmail.com. Adapun ketentuan mengenai perlombaan penulisan opini ini sendiri dapat diakses di blog HMP UGM dengan alamat http://hmpugm.blogspot.com. Untuk penyerahan hadiah kepada para pemenang dilakukan berbarengan dengan pelaksanaan seminar nasional. (Nita)

Lomba Penulisan Opini HMP UGM Tentang Anti Korupsi Tahun 2011


Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (HMP UGM) adalah organisasi yang berusaha memberikan manfaat langsung bagi seluruh mahasiswa pascasarjana UGM secara khusus dan memberikan kemanfaatan yang berkelanjutan dari masa ke masa untuk seluruh masyarakat secara umum.

Dalam rangka ikut berpartisipasi dalam mengobarkan semangat anti korupsi ke seluruh kalangan untuk menjadikan negara Indonesia lebih baik dan bersih dari korupsi, HMP UGM menyelenggarakan Lomba Penulisan Opini Tentang Anti Korupsi Tahun 2011 dengan tema "Mencari Jalan Strategis Menuju Masyarakat Anti Korupsi".

Persyaratan:
  • Peserta Lomba Menulis Opini HMP UGM Tentang Anti Korupsi Tahun 2011 adalah mahasiswa/umum se-Indonesia.
  • Peserta hanya boleh mengirimkan 1 (satu) karya tulis beserta CV/biodata singkat peserta, dan fotokopi KTP/KTM.
  • Karya tulis berupa hard copy dikirimkan paling lambat tanggal 21 Maret 2011 (cap pos) dan berupa soft copy dikirimkan melalui email ke : hmpugm@gmail.com
  • Pengumuman pemenang pada tanggal 22 Maret 2011, diumumkan lewat blog HMP UGM : http://hmpugm.blogspot.com
  • Bagi peserta yang berdomisili di Yogyakarta akan diundang untuk mengikuti penyerahan hadiah langsung di acara Seminar Nasional Anti Korupsi pada tanggal 23 Maret 2011.
Aturan Penulisan:
  • Diketik pada kertas A4 dengan huruf Times New Roman font 12
  • Jarak 1,5 spasi
  • Jumlah halaman 4 - 7 halaman
  • Lampiran tidak diperhitungkan sebagai halaman

Kriteria Penulisan:
  • Isi tulisan harus asli dan bukan merupakan hasil saduran.
  • Tulisan menyampaikan informasi mengenai persepsi dan opini masyarakat saat ini sesuai tema dan sub tema yang dipilih boleh berdasarkan latar belakang pendidikan atau pekerjaan/aktivitas penulis.
  • Menyampaikan pesan yang informatif kepada pembaca dan tidak bersifat subyektif atau provokatif, serta tidak mengekspose permasalahan SARA.
  • Didukung oleh data yang akurat.
  • Kepiawaian dalam mengolah tulisan dan struktur teratur.
  • Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, sederhana, jelas, baik dan benar
  • Keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
  • Setiap tulisan yang masuk menjadi hak panitia sepenuhnya, dan tulisan yang menang akan dimuat di blog HMP UGM.
Hadiah:
  • Juara I : Uang sebesar Rp. 300.000,- + piagam penghargaan + bingkisan
  • Juara II : Uang sebesar Rp. 200.000,- + piagam penghargaan + bingkisan
  • Juara III : Uang sebesar Rp. 100.000,-  + piagam penghargaan + bingkisan

Untuk alamat pengiriman karya & informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Panitia Lomba Penulisan Opini HMP UGM
Tentang Anti Korupsi Tahun 2011

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Unit III Ruang 101,
Jalan Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta 55281
Email: hmpugm@gmail.com
Blog: http://hmpugm.blogspot.com
CP: Nita (082110743008), Luthfi (085224460409)